"Nah sekarang yang ditunggu-tunggu...
yang panas-panas baru pulang dari Cannes..." kata Mbak Lulu mempersilahkan
Lucky naik ke panggung Galeri Indonesia Kaya.
Menurut Mbak Lulu, acara hari ini lumayan
penuh karena semua pengen nonton film Lucky. Bukan pengen nonton film pelajar
Purbalinga yang sound opening-nya menghantui. Bukan film pendek Kalimantan yang
baru menang FFI. Bukan juga dokumenter yang baru menang XX One.
Q & A berjalan menyenangkan. Walaupun Lucky
menjawab kalau tontonannya waktu kecil itu 'Free Willy', Lucky tetap terlihat
lebih matang dibandingkan filmmaker lainnya. Di sela-sela jawabannya, masih
sempat Lucky menyelipkan apresiasi buat tiga film lainnya.
Waktu pun berputar, Lucky kembali dihadirkan
di Galeri Indonesia Kaya bersama tiga sutradara lainnya. Kali ini yang dua
sudah membuat film-film yang penontonnya di atas satu juta, walaupun gak ada
yang pernah masuk Cannes.
"Buat saya film itu ya dibikin untuk
penonton. Kalau film yang gak ditonton penonton, walaupun masuk festival ya
buat apa?" tanya si sutradara jutaan penonton.
Lucky langsung pulang tanpa niat bercengkerama
dengan mereka.
"Harus ya dibanding-bandingin begitu?
Can't we just co-exist?" keluh Lucky.
"Makanya kita harus punya film yang
jumlah penontonnya lebih banyak dari mereka," jawab gue ambisius.
Lucky tidak menjawab, tampaknya tidak tertarik
film dijadikan perlombaan. Lebih tertarik menjaga filmnya agar tetap truthful
tanpa mengusik film lain.
Ketika film yang diproduseri si sutradara
jutaan flop di pasaran tapi masuk festival, Lucky pun tidak berkomentar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar