Minggu, 25 Oktober 2015

The Art Of Co-Existance

"Nah sekarang yang ditunggu-tunggu... yang panas-panas baru pulang dari Cannes..." kata Mbak Lulu mempersilahkan Lucky naik ke panggung Galeri Indonesia Kaya.

Menurut Mbak Lulu, acara hari ini lumayan penuh karena semua pengen nonton film Lucky. Bukan pengen nonton film pelajar Purbalinga yang sound opening-nya menghantui. Bukan film pendek Kalimantan yang baru menang FFI. Bukan juga dokumenter yang baru menang  XX One.

Q & A berjalan menyenangkan. Walaupun Lucky menjawab kalau tontonannya waktu kecil itu 'Free Willy', Lucky tetap terlihat lebih matang dibandingkan filmmaker lainnya. Di sela-sela jawabannya, masih sempat Lucky menyelipkan apresiasi buat tiga film lainnya.

Waktu pun berputar, Lucky kembali dihadirkan di Galeri Indonesia Kaya bersama tiga sutradara lainnya. Kali ini yang dua sudah membuat film-film yang penontonnya di atas satu juta, walaupun gak ada yang pernah masuk Cannes.

"Buat saya film itu ya dibikin untuk penonton. Kalau film yang gak ditonton penonton, walaupun masuk festival ya buat apa?" tanya si sutradara jutaan penonton.

Lucky langsung pulang tanpa niat bercengkerama dengan mereka.

"Harus ya dibanding-bandingin begitu? Can't we just co-exist?" keluh Lucky.

"Makanya kita harus punya film yang jumlah penontonnya lebih banyak dari mereka," jawab gue ambisius.

Lucky tidak menjawab, tampaknya tidak tertarik film dijadikan perlombaan. Lebih tertarik menjaga filmnya agar tetap truthful tanpa mengusik film lain.

Ketika film yang diproduseri si sutradara jutaan flop di pasaran tapi masuk festival, Lucky pun tidak berkomentar.

Mungkin ketika dia mengomentari Lucky, sebenarnya dia mengomentari diri sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar