Sabtu, 03 Oktober 2015

Fundamentalis Inside

Suatu sore di 2010, di eskalator Senayan City. Kami baru saja nonton film  yang judulnya gue udah lupa. Kayanya Nine, not that memorable. Padahal yang bikin sutradaranya Chicago.

Yang gue inget sampai hari ini adalah kata-kata Ucu.

"Berarti lo sebenarnya deep down masih fundamentalis," katanya setelah gue bilang betapa gue cinta sama si istri cantik, Audrey Hepburn look alike, yang menyanyi solo lagu melankolis sambil menangisi suaminya sang sutradara yang selingkuh  dengan aktrisnya yang pecun. Kayanya Salma Hayek yang maen deh.  Apa another latino actress ya?

Lupa.

She was very good padahal, tapi simpati gue malah  buat si Audrey Hepburn.

Kenapa gue tidak bisa memahami rasa cinta yang dimiliki si sutradara? Mengapa gue begitu menghakimi? Mungkinkah gue memang fundamentalis?

Apa sih fundamentalis?

Menurut Oxford (atau Google), fundamentalis itu bisa jadi:
- a person who believes in the strict, literal interpretation of scripture in a religion.
atau
- a person who adheres strictly to the basic principles of any subject or discipline.

Gak harus agama.

Lima tahun berlalu dan kini gue menjadi si Salma Hayek, tapi masih gue kadang-kadang berani menghakimi orang lain. Baik lewat komen Facebook maupun dalam hati.  

Pertanyaan Ucu tetap membekas di ingatan. Mungkinkah dengan segala pengakuan gue kalau gue menghormati perbedaan, sebenarnya gue fundamentalis inside?

"Dulu gue pernah diskusi di workshop. Di situ yang membekas banget di ingatan gue, kalau gue itu sebenarnya fundamentalis inside. Yah namanya juga bertahun-tahun di pesantren ya, Tid," kata Ucu suatu hari,  sepertinya lupa kejadian eskalator Senayan City.  

Ternyata kalimatnya buat gue adalah kalimat orang buat dia.

When we judge people, do we actually judge ourselves?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar