Suatu sore di 2010, di eskalator Senayan City.
Kami baru saja nonton film yang judulnya
gue udah lupa. Kayanya Nine, not that memorable. Padahal yang bikin
sutradaranya Chicago.
Yang gue inget sampai hari ini adalah
kata-kata Ucu.
"Berarti lo sebenarnya deep down masih
fundamentalis," katanya setelah gue bilang betapa gue cinta sama si istri
cantik, Audrey Hepburn look alike, yang menyanyi solo lagu melankolis sambil
menangisi suaminya sang sutradara yang selingkuh dengan aktrisnya yang pecun. Kayanya Salma
Hayek yang maen deh. Apa another latino
actress ya?
Lupa.
She was very good padahal, tapi simpati gue
malah buat si Audrey Hepburn.
Kenapa gue tidak bisa memahami rasa cinta yang
dimiliki si sutradara? Mengapa gue begitu menghakimi? Mungkinkah gue memang
fundamentalis?
Apa sih fundamentalis?
Menurut Oxford (atau Google), fundamentalis
itu bisa jadi:
- a person who believes in the strict, literal
interpretation of scripture in a religion.
atau
- a person who adheres strictly to the basic
principles of any subject or discipline.
Gak harus agama.
Lima tahun berlalu dan kini gue menjadi si
Salma Hayek, tapi masih gue kadang-kadang berani menghakimi orang lain. Baik
lewat komen Facebook maupun dalam hati.
Pertanyaan Ucu tetap membekas di ingatan. Mungkinkah
dengan segala pengakuan gue kalau gue menghormati perbedaan, sebenarnya gue
fundamentalis inside?
"Dulu gue pernah diskusi di workshop. Di
situ yang membekas banget di ingatan gue, kalau gue itu sebenarnya fundamentalis
inside. Yah namanya juga bertahun-tahun di pesantren ya, Tid," kata Ucu
suatu hari, sepertinya lupa kejadian
eskalator Senayan City.
Ternyata kalimatnya buat gue adalah kalimat
orang buat dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar