Setelah jadi juri kompetisi film Bandung di
mana spesies film bagus masih belum berevolusi, gue membuat workshop mulia Kepompong Cerita agar filmmaker muda Bandung setidaknya ngeh apa itu
premis.
Terkumpullah 5 penulis. Ada penulis profesional
yang sudah nulis 6 buku dan buku favoritnya adalah bukunya sendiri. Ada
mahasiswa DKV mother complex, ngakunya bukan gay, dan ingin bikin film lesbi.
Ada perawan berjilbab yang ingin menikah sesuai harapan orang tuanya di kota
kecil yang tak ingin lagi ditinggalinya.
Ada juga mbak-mbak Pati yang kecilnya gak punya teman dan imajinasinya
membawanya ke film-film psycho Jepang. Ada juga mahasiswa idealis yang mengira
dirinya suka bikin film anak kecil yang menginspirasi.
Dari mereka semua, yang gue kira punya potensi
untuk punya 'something to say' di filmnya hanya si mbak-mbak Pati simply karena
hanya dia yang jelas suka nonton film.
Tibalah hari mengumpulkan naskah.
Si Pati tidak mengumpulkan. Bahkan tak ada
kabar.
Yang sepertinya potensial untuk dibuat hanya
cerita si Profesional Berbuku Enam, walaupun bukan jenis cerita 'something to
say' yang ingin gue produseri.
Gue jadi malas bikin Kepompong Cerita
berikutnya.
Mungkin gue bukan pengajar. Pengajar harusnya
melihat progress, gak cuma hasil?
Mungkin motivasi gue yang salah. Gue mengajar
karena ingin film orang lain menjadi seperti gua, punya something to say.
Makanya gampang kecewa.
Mengajar itu belajar. Coba ingat-ingat semua
yang kau pelajari selama Kepompong Cerita ini. Ingat sharing Bu Indah tentang
asal usul Bandung? Jadi kau tahu Bandung itu asalnya bukan sarang orang Sunda,
tapi sarang maung. Sunda-Sunda baru datang setelah si Belanda
bikin jalan pos dan si Cina bikin toko di sekitarnya.
Ingat film-film keren yang kau tonton? Mana
kau tahu ada film Cities Of Speed kalau bukan karena Kepompong Cerita.
Mungkin lain kali semua motivasi mulia harus dijauhkan.
Gue mengajar buat gue sendiri. Biar gue
mengerti bagaimana membuat orang mengerti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar