"Kenapa pintu di rumah lo gak ada yang
bener sih?" tanyanya ketika pintu garasi harus ditendang dulu baru bisa
dikunci.
Gue baru ngeh. Memang sepanjang kami melintasi
rumah ini, mulai kamar gue sampai pintu depan, semua pintu gak begitu sempurna
dan di mataku tak begitu indah.
Ada yang tak berpegangan. Ada yang tak
berengsel. Ada yang tak lurus.
Selama ini gue gak pernah masalah, padahal
sudah 20 tahun gue hidup di rumah ini. Selama terlihat masih pintu, gue nerimo
aja.
Mungkin gak hanya pintu. Mungkin semua
pekerjaanku pun begitu.
Teringat bagaimana gue survive sekolah di
arsitektur. Sementara teman-teman gue berkutat dengan satu gambar detail dan
akhirnya deadline gak kekejar, gue bisa
menyelesaikan seluruh tugas dengan lengkap dan indah.
Dari jauh.
Kalau melihat lebih dekat, barulah terlihat
tak detail.
Tapi dosen-dosen itu juga gak pernah melihat
detail. Terlalu banyak mahasiswa yang
harus mereka nilai dalam waktu yang hanya sedikit. Makanya gue bisa lulus dengan nilai
terbaik tanpa perlu begadang seperti
mereka.
Dulu gue manganggap gak detail itu bukan
kekurangan, simply gue lebih strategis
mengejar tujuan akhir: nilai. Kalau gue mau, gue bisa kok detail.
Ternyata tidak.
Melihat bar-buk pintu-pintu ini, sepertinya
'jiwa strategis' sudah menjalar bahkan ke ruangan hidup gue yang tidak pernah
dinilai dosen.
Jadi teringat seorang arsitek murtad yang juga
jadi filmmaker ketika bikin meja.
Berhari-hari dia berusaha agar mejanya tidak goyang-goyang gengges. Padahal mejanya
sudah bagus sekali dibanding kerjaan Pak Apo.
Makanya filmnya belum jadi-jadi, padahal gue
yakin filmnya akan bagus sekali.
Makanya film gue sudah dua, walau engselnya gak ada dan sikunya gak lurus.
Mungkin kami harus lebih banyak bekerja sama,
agar gue lebih perfeksionis dan dia lebih strategis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar