Jumat, 23 Oktober 2015

Pintu

"Kenapa pintu di rumah lo gak ada yang bener sih?" tanyanya ketika pintu garasi harus ditendang dulu baru bisa dikunci.

Gue baru ngeh. Memang sepanjang kami melintasi rumah ini, mulai kamar gue sampai pintu depan, semua pintu gak begitu sempurna dan di mataku tak begitu indah.

Ada yang tak berpegangan. Ada yang tak berengsel. Ada yang tak lurus.  

Selama ini gue gak pernah masalah, padahal sudah 20 tahun gue hidup di rumah ini. Selama terlihat masih pintu, gue nerimo aja.

Mungkin gak hanya pintu. Mungkin semua pekerjaanku pun begitu.

Teringat bagaimana gue survive sekolah di arsitektur. Sementara teman-teman gue berkutat dengan satu gambar detail dan akhirnya deadline  gak kekejar, gue bisa menyelesaikan seluruh tugas dengan lengkap dan indah.

Dari jauh.

Kalau melihat lebih dekat, barulah terlihat tak detail.

Tapi dosen-dosen itu juga gak pernah melihat detail.  Terlalu banyak mahasiswa yang harus mereka nilai dalam waktu yang hanya sedikit.  Makanya gue bisa lulus dengan nilai terbaik  tanpa perlu begadang seperti mereka.

Dulu gue manganggap gak detail itu bukan kekurangan,  simply gue lebih strategis mengejar tujuan akhir: nilai. Kalau gue mau, gue bisa kok detail.

Ternyata tidak.

Melihat bar-buk pintu-pintu ini, sepertinya 'jiwa strategis' sudah menjalar bahkan ke ruangan hidup gue yang tidak pernah dinilai dosen.

Jadi teringat seorang arsitek murtad yang juga jadi filmmaker ketika bikin  meja. Berhari-hari dia berusaha agar mejanya tidak goyang-goyang gengges. Padahal mejanya sudah bagus sekali dibanding kerjaan Pak Apo.

Makanya filmnya belum jadi-jadi, padahal gue yakin filmnya akan bagus sekali.

Makanya film gue sudah dua,  walau engselnya gak ada dan sikunya gak lurus.  

Mungkin kami harus lebih banyak bekerja sama, agar gue lebih perfeksionis dan dia lebih strategis.

Pintu menuju banyak film bagus mulai terbuka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar