Jumat, 23 Oktober 2015

The Absence Of Judgement

Love Is The Absence Of  Judgement - tulis gue di notebook itu. Mungkin gue nulis begini karena ketidakmampuan mengartikulasikan perasaan yang konon membuat gue berjalan lebih ringan, Romeo rela minum racun,  dan Yesus rela disalibkan. 

Yang pasti terdengar benar.

Walaupun susah. Apalagi tiap melihat gerombolan coklat-coklat taik  sengaja nunggu para pelanggar jalur busway di ujung sana. Bawaan hati ingin mengutuk dan melempari taik, lupa kalau gue pun pernah menindas yang lemah.

Kenapa gue hobi menghakimi dan sulit mencintai?

Mungkin karena gue sering merasa dihakimi. Bukan hanya oleh orang lain, tetapi diri sendiri.

Misalnya ketika gue menyanyi dan gue ngerasa suara gue bagus --- tentunya hanya di saat-saat tersamar suara gitar dan lagunya balada-balada aja. Gue menghakimi diri kalau gue tuh sok. Sukanya pamer. Pengennya didengerin. Seharusnya gue tidak begitu. Seharusnya gue menyanyi dari dalam hati untuk sesuatu higher than myself.

Whatever that means.

Jadinya ketika ada orang menyanyi bagus, gue jadi menghakimi dia sok, pengen pamer, pengen didengerin, dan seharusnya menyanyi untuk sesuatu higher than myself...  eh, himself.

Whatever that means.

Andaikan gue mengizinkan diri gue untuk sok, pamer, dan menyanyi for the sake of being adored...  mungkin gue gak akan senyinyir itu sama sesama tukang pamer.

Do unto yourself what you wanna do unto others.

Kalau gue gak pengen menghakimi orang,  sebaiknya gue belajar tidak menghakimi diri sendiri.  Biarlah gue menyanyi dengan sok dan menyombongkan semua talenta gue yang tak seberapa apalagi tanpa suara gitar ini.


Mungkin sedikit demi sedikit, diri ini akan merasa dicintai dan kembali mencintai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar