Love Is The Absence Of Judgement - tulis gue di notebook itu. Mungkin
gue nulis begini karena ketidakmampuan mengartikulasikan perasaan yang konon
membuat gue berjalan lebih ringan, Romeo rela minum racun, dan Yesus rela disalibkan.
Yang pasti terdengar benar.
Walaupun susah. Apalagi tiap melihat
gerombolan coklat-coklat taik sengaja
nunggu para pelanggar jalur busway di ujung sana. Bawaan hati ingin mengutuk
dan melempari taik, lupa kalau gue pun pernah menindas yang lemah.
Kenapa gue hobi menghakimi dan sulit mencintai?
Mungkin karena gue sering merasa dihakimi. Bukan
hanya oleh orang lain, tetapi diri sendiri.
Misalnya ketika gue menyanyi dan gue ngerasa
suara gue bagus --- tentunya hanya di saat-saat tersamar suara gitar dan
lagunya balada-balada aja. Gue menghakimi diri kalau gue tuh sok. Sukanya
pamer. Pengennya didengerin. Seharusnya gue tidak begitu. Seharusnya gue
menyanyi dari dalam hati untuk sesuatu higher than myself.
Whatever that means.
Jadinya ketika ada orang menyanyi bagus, gue
jadi menghakimi dia sok, pengen pamer, pengen didengerin, dan seharusnya
menyanyi untuk sesuatu higher than myself...
eh, himself.
Whatever that means.
Andaikan gue mengizinkan diri gue untuk sok,
pamer, dan menyanyi for the sake of being adored... mungkin gue gak akan senyinyir itu sama
sesama tukang pamer.
Do unto yourself what you wanna do unto
others.
Kalau gue gak pengen menghakimi orang, sebaiknya gue belajar tidak menghakimi diri
sendiri. Biarlah gue menyanyi dengan sok
dan menyombongkan semua talenta gue yang tak seberapa apalagi tanpa suara gitar
ini.
Mungkin sedikit demi sedikit, diri ini akan merasa
dicintai dan kembali mencintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar