Sabtu, 03 Oktober 2015

Sehari di Pengadilan Negeri

Mengikuti tanggal yang samar-samar tertulis di slip biru, pagi-pagi gue udah bersiap menuju PN Jakarta Selatan berbekal nasehat dari para blogger yang pernah ketilang. Langsung kufotokopi semua slip sambil  dikhotbahi  uda fotokopi.

"Kalau slip biru repot. Harus bolak-balik BRI.  Mending slip merah."

Sudah kau lihat udah biru itu kan? Gak bisa lagi kuganti. Potokopi ajalah.

Pengadilan sudah dipenuhi para pengendara motor yang sial ketemu polisi. Kalau semua pengendara motor bandel di Jakarta disuruh ke Pengadilan, gak bakal muatlah. Untungnya, pengadilan ini memisahkan ikhwan ikhwat. Ada jalur  khusus wanita jadi gue melenggang langsung ke ruang sidang tanpa antri.

Baru bentar aku udah dipanggil ke meja hakim. Ada bagusnya juga emansipasi belum menjamah Pengadilan Negeri ini.

Ternyata salah pengadilan. Harusnya Jakarta Timur.

Bah.

Pengadilan Jakarta Timur ternyata tidak  se-syariah  di Selatan. Gue tetap harus antri bersama lelaki-lelaki. Jadilah dapat nomor urut 700 something.

"Sholat Jumat dulu ya, sidang disambung jam 1" kata mas-mas sebelah hakim pake toa.

Jam 1.30, sidang dibuka kembali. Nomor gue berkumandang di toa. Gue dibariskan dengan terdakwa lain, diputuskan denda 300ribu, disuruh ke ruang sebelah. 

All in less than 1 minute.

Ditambah 1000 ongkos perkara, Ojeg 20000 x 5, total biaya gara-gara masuk jalur busway ini Rp 401.000.

Lebih murah bayar polisi 200 ribu.

Atau setidaknya slip merah. Gak usah ada bayar ojeg bolak-balik ke BRI.

Berikutnya, akankah gue mengikuti prosedur yang ada?


Terberkatilah Ahok, Jokowi, dan pemimpin manapun  yang bisa mengefektifkan rantai birokrasi.  Biar warganya bisa lebih banyak waktu bersama keluarga. Gak perlu hidup sehari di Pengadilan Negeri dan sehari di BRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar