Mengikuti tanggal yang samar-samar tertulis di
slip biru, pagi-pagi gue udah bersiap menuju PN Jakarta Selatan berbekal
nasehat dari para blogger yang pernah ketilang. Langsung kufotokopi semua slip
sambil dikhotbahi uda fotokopi.
"Kalau slip biru repot. Harus bolak-balik
BRI. Mending slip merah."
Sudah kau lihat udah biru itu kan? Gak bisa
lagi kuganti. Potokopi ajalah.
Pengadilan sudah dipenuhi para pengendara
motor yang sial ketemu polisi. Kalau semua pengendara motor bandel di Jakarta
disuruh ke Pengadilan, gak bakal muatlah. Untungnya, pengadilan ini memisahkan
ikhwan ikhwat. Ada jalur khusus wanita
jadi gue melenggang langsung ke ruang sidang tanpa antri.
Baru bentar aku udah dipanggil ke meja hakim.
Ada bagusnya juga emansipasi belum menjamah Pengadilan Negeri ini.
Ternyata salah pengadilan. Harusnya Jakarta Timur.
Bah.
Pengadilan Jakarta Timur ternyata tidak se-syariah
di Selatan. Gue tetap harus antri bersama lelaki-lelaki. Jadilah dapat
nomor urut 700 something.
"Sholat Jumat dulu ya, sidang disambung
jam 1" kata mas-mas sebelah hakim pake toa.
Jam 1.30, sidang dibuka kembali. Nomor gue
berkumandang di toa. Gue dibariskan dengan terdakwa lain, diputuskan denda
300ribu, disuruh ke ruang sebelah.
All in less than 1 minute.
Ditambah 1000 ongkos perkara, Ojeg 20000 x 5,
total biaya gara-gara masuk jalur busway ini Rp 401.000.
Lebih murah bayar polisi 200 ribu.
Atau setidaknya slip merah. Gak usah ada bayar
ojeg bolak-balik ke BRI.
Berikutnya, akankah gue mengikuti prosedur
yang ada?
Terberkatilah Ahok, Jokowi, dan pemimpin manapun
yang bisa mengefektifkan rantai
birokrasi. Biar warganya bisa lebih
banyak waktu bersama keluarga. Gak perlu hidup sehari di Pengadilan Negeri dan
sehari di BRI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar