Seorang teman marah-marah di status
Facebook-nya. Buku Pram yang
katanya mikrokosmos hubungan
penjajah dan yang terjajah malah dijadikan ajang jualan berlian, bagian dari
kampanye filmnya yang konon akan segera dibuat.
Mungkin pembuat filmnya belum nonton Blood
Diamond. Mungkin juga sudah, tapi tidak terlalu peduli. Yang penting dapat
sponsor untuk film yang gak mungkin murah itu.
Gue melihat-lihat iklan berlian yang dimaksud.
Memang perempuan-perempuan berkulit licin ini tidak seperti gambaran Nyai
Ontosoroh, si gundik hits yang gigih mengolah kebon sambil mengedukasi diri
agar tak lebih rendah dari penjajahnya.
Di bagian komentar, ada seorang temannya yang
menceritakan bagaimana dulu Pram menolak
membiarkan Oliver Stone menyutradarai adaptasi buku ini karena doi gak mampu
memahami karakter Annelies.
Annelies si anak haram campuran Belanda Jawa
yang lebih merasa Jawa. Beda dengan kakaknya yang juga campuran tapi bercita-cita
menjadi orang Belanda. Apa yang Pram
ingin gambarkan melalui perempuan ini sampai-sampai sutradara sekelas Oliver
Stone ditolaknya?
Apa yang akan Pram katakan jika masih hidup dan
melihat berlian Nyai Ontosoroh?
Mungkin jangan dulu berburuk sangka. Mungkin
berlian ini satu-satunya kompromi agar
cerita penting ini bisa difilmkan. Mungkin kita harus bersyukur akhirnya Bumi
Manusia dapat ditonton manusia-manusia Indonesia yang hanya punya waktu 2 jam,
gak lebih.
Toh beberapa sutradara terbaik Indonesia yang
tadinya hendak membuat film ini ternyata tidak cukup menjual untuk balik modal.
Sutradaranya kali ini seorang pengagum FPI
yang dianggapnya berjasa memusnahkan kemaksiatan dari muka Indonesia.
Oh.
Di akhir cerita, Annelies mati tapi Minke tidak
bisa berbuat apa-apa. Dia yang sangat mencintai Annelies bukan siapa-siapa di
mata hukum. Sarikat yang dia mulai pun semakin lama semakin dipenuhi Fundamentalis.
Minke hanya bisa menulis.
Lalu muncul Minke lain.