"I believe in divorce," kata seorang anak yang tumbuh dengan Bapak yang gemar selingkuh dan Mama yang kepikiran sampai sakit-sakitan. Mama istri ke dua bapaknya, tapi udah cerai dulu ama yang pertama. Setelah selingkuh dan tak juga ditalak cerai, bapaknya makin menjadi. Kawin lagi, pindah agama, dan bikin perusahaan berbagi saham dengan si istri muda dan adiknya. Tua jatuh miskin dan harus bagi-bagi aset dengan istri muda yang tentunya sudah kawin lagi.
Sampai meninggal, Mama tidak juga menceraikan. Pernah sih minta cerai tapi gak dikabulkan Pengadilan karena Bapaknya minta cerai secara Islam padahal nikahnya Katolik.
Melihat mamanya menderita sampai sakit-sakitan demi perkawinan yang tidak layak diperjuangkan, wajar dia tidak percaya manusia boleh diperangkap dalam ikatan yang dosa kalau diputuskan. Apalagi setelah menonton Borgias 2 season, ternyata Paus Vatikan pun punya selingkuhan.
Gue tumbuh di keluarga besar yang bebas perceraian. Dulu ada om gue yang mau cerai karena ketahuan selingkuh, disidang satu keluarga besar dan dimasukin penjara sama bapak gue. Tentunya sekarang mereka tidak jadi bercerai walau gue yakin si om masih selingkuh.
Papi Mami tidak pernah selingkuh. Tapi gue gak yakin mami cinta sejati papi. Papi orang yang baik dan bersyukur. Semua yang diberikan Tuhan padanya akan dirawat dan dimanjakan dengan penuh perhatian.
Mami, sepertinya paling cinta dirinya sendiri. Jadi kalau ada yang merawat dia segitunya pasti akan dipertahankannya.
Pasangan cerai pertama yang gue kenal adalah mama teman SMP gue. Mungkin ayah barunya bisa sayang pada mamanya, tapi bisakah sayang juga pada dia?
Pasangan cerai ke dua di hidup gue ketika gue exchange student di Amerika. Host Mom gue anaknya dua, beda-beda nama keluarga dengan dia. Jadi at least dia sudah cerai tiga kali.
Setelah bercerai dengan Host Dad gue, hidupnya berantakan. Tidak lagi tinggal di rumah berjacuzzi. Cerai terlihat jadi the easy way out, dan setelahnya hidupnya tidak juga lebih baik. Kalau saja dia stick to any of her husband, mungkin dia bisa tua bersama seperti mami dan papi. Gak terlalu happy tapi at least gak berantakan.
Gue gak mau menikah seperti mami dan papi. Gue mau hidup dengan seorang partner yang bisa gue puja dan gue manjakan. Gue bilang cantik tiap hari. Gue teriakkan ke semua orang lewat lagu, film, dan tulisan.
"Trophy dong?" kata si pro perceraian.
A trophy with a hint of slavery. Kalau trophy kan dipajang doang, kalau ini gue pengen dia ngerasa paling cantik sedunia dan rela dijadikan budaknya.
Tapi gue gak pernah kawin. Mungkin Papi, Mami,dan lain-lainya juga pengen bahagiakan pasangannya di awal perkawinan. And long years of marriage brought them here.
Semua orang tahu yang terbaik buat dirinya sendiri. Si mama yang diselingkuhi sampai sakit-sakitan mungkin tidak merasa perlu dikasihani, dia malah merasa telah sukses menjadi istri yang setia sesuai iman Katoliknya. Si Papa yang gemar selingkuh juga tidak perlu dikasihani, mungkin dia telah menjalani hidup yang penuh passion tanpa penyesalan. Om gue yang tetap diam-diam selingkuh juga tidak perlu disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia agar bisa survive hidup dengan tante gue yang kejam. Tante gue yang kejam juga tidak bisa disalahkan, mungkin itu satu-satunya cara dia menjaga agar perkawinanya tidak retak sesuai doktrin Protestannya. Host Mom yang hidupnya tidak lagi berjacuzzi juga tidak perlu dikasihani, karena mungkin dia bahagia bisa hidup mandiri.
Semua orang punya jalan sendiri, tidak boleh dihakimi.
Lebih baik menyanyi sambil menyiapkan diri untuk cinta yang hanya hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar