Senin, 22 April 2013

Menyutradarai Sutradara

"Kalau filmnya kaya gitu, gue gak mau ada di tim lu," katanya setelah menonton Demi Ucok.

Penyutradaraan, Script, dan Akting memang menjanjikan. Karenanya Demi Ucok menjadi sebuah komedi yang berhasil. Tapi di bagian-bagian yang dia sangat peduli: artistik dan kamera, Demi Ucok berantakan.

"Contohnya ya, di bagian Lapak DVD. Keliatan banget dari bayangan wajahnya take-nya beda-beda waktu."

Ngik.

"Padahal pas cin(T)a bagus. Mungkin karena kameraman dan art-nya berbeda," katanya.

Padahal Art-nya sama, kamera yang beda.  Gue berusaha membela diri dengan mengatakan kalau angle kamera itu tergantung sutradara, bukan kameraman. Demi Ucok berantakan di artistik dan kamera karena untuk film komedi prioritasnya beda. Yang paling penting untuk komedi adalah timing dan akting. Jadi selama comedic timing udah kena, Mak Gondut langsung gue istirahatkan. Art dan kamera bagus prioritas terakhir, lebih penting Mak Gondut bobo.

Tapi tetep. Art dan kameranya parah, walaupun dinominasikan untuk Best Art.

"Dan dari presentasi lima sutradara kemaren, kerasa banget punya lo mateng sendiri. Yang  lain masih kebanyakan mau, belum tau bikinnnya gimana," tambahnya.

And this is not a compliment. Gue produser lima-limanya. Kalau satu saja gagal, berarti produser yang gagal.

Tugas utama produser cuma dua: cari script dan cari sutradara. Gue yang memilih mereka semua sebelum gue mendengar konsep dan script mereka.

"Gue ngerti sih dari awal lo emang bilang pengen ngembangin teman-teman lu yang kata lu potensial. Gue juga liat mereka asik-asik dan potensial. Tapi gue kan bikin karya jarang ya. Tapi sekalinya bikin gue gak mau asal bikin. Nah dari presentasi terakhir, gue gak yakin akan jadi bener."

Gue terdiam memikirkan kata-katanya, berusaha tidak defense dan mensyukuri ada yang mengingatkan. Yang satu script-nya sempurna, tapi gak kelihatan yakin bagaimana merealisasikannya. Yang satu ilustrator yang hebat, tapi message-nya kebanyakan dan semuanya tidak diolah dalam cerita. Yang satu masih tahap riset kain dan belum pernah tahu rumitnya membuat stop motion. Yang satu bahkan belum tahu ceritanya berasal dari Padang bagian mana.

"Gue gak masalah kalau harus diundur, yang penting film ini jadinya bagus,"  setelah menjelaskan panjang lebar kalau keraguannya bukan hanya pada konten. Achievement visual pun demikian.

Gue menatap deretan angka  tanggal di kalender 2013, sambil angka-angka budget menunda produksi berenang di kepala.

"Kalau ditunda, seberapa lama ya kira-kira? "

"Ya tergantung progress sutradaranya. Gue perkirakan sih setahun."

Ngik.

Kepompong Gendut setahun hidup tanpa film?

"Ya lo bikin aja film lain dulu. Tapi terserah lu sih. Kalau mau tetap jalan dengan keadaan kaya gini ya boleh. Tapi gue gak mau ikut-ikutan," katanya tegas sambil tetap tersenyum.

"Atau mau ngembangin bareng-bareng dulu?  Paling penting sih emang duduk bareng, diskusi, nyamain referensi..."

Kembali melihat kalender. 

"Film Indonesia itu udah terlanjur jelek, jadi ada yang beda dikit udah dibilang bagus. Padahal kan udah mau globalisasi, jadi saingan kita mah gak akan film Indonesia lagi," katanya.

Dan selama ini gue selalu menyalahkan penonton yang tidak menghargai usaha gue.  Penonton mau dihibur dengan sesuatu yang matang, gak mau dengar cerita betapa segini aja udah bagus banget untuk Indonesia. Manusiawi.

"Sekarang ya lo harus lebih banyak turun tangan. Sutradaranya ya harus di-direct, biar frekuensinya sama."

Mendirect spesies kreatif memang butuh frekuensi tersendiri. DoP, art, actor, gue udah pernah gue direct. Tapi mendirect sutradara? Ini spesies baru yang udah punya ego kreatif masing-masing.

Teringat cerita Lucky tentang seorang produser badak yang harus berani dibenci.Makanya yoga tiap hari biar tetap bisa menikmati hari di tengah caci maki.

Am I Badak enough?
  
Ngik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar