Senin, 03 Juni 2013

Menghakimi Opung Mak

Opung Mak memberikan cincin tunangannya kepada cucu kesayangan, Bang Deden. Tentunya harus laki-laki. Untuk yang perempuan, diberikanlah 3 gelang mas 24 karat kepada mereka yang paling baik  : Chica, Echa, dan gua.

Dari 50an cucu Opung, yang dikasih gelang hanya tiga. Chica dan Echa memang berbakti. Gue?

Apa karena gua mijit-mijit Opung tiap ketemu? Itu kan karena gue malas ngobrol ama Opung. Yang dia tanyakan selalu sudah makan kau? Makan kau! Nanti kurus!

Atau menceritakan betapa brengseknya Opung Pak, kurang ajarnya janda belakang, dan sederet kejelekan bodat lainnya. Gak ada yang perhatian padanya.

Padahal dulu Opung gak negatif. Opung yang gue inget di masa kecil selalu baik dan datang membawa hadiah.

"Dari dulu emang kayak gitu dia!" seru salah satu cucu yang sempat dimaki-maki pelacur karena satu kali waktu SMP  dia pulang malam.

Mungkin memang gue gak kenal Opung. Gue selalu tinggal di Luar Jakarta. Mungkin karena itu ingatan gue soal Opung bukan nenek pemaki-maki yang lidahnya setajam bulu babi.

Dalam hati gue berjanji, gue gak mau self centered. Kalau nggak tuanya akan jadi seperti Opung. Selalu berasa gak disayang. Selalu berasa orang lain bodat.

Tapi gue gak cukup tahu Opung untuk bisa menghakimi.

Yang gue tahu katanya Opung anak kapala negeri. Di saat wanita belum berekolah, dia sudah tamat sekolah guru. Ditambah masa itu masyarakat Batak masih menganggap gendut dan dada besar sebagai  lambang kesuburan, sehingga Opung Mak menjadi kembang desa. Tapi Opung Mak menolak dijodohkan. Dia memilih malu karena  terlambat kawin dan menunggu pujaan hatinya, si Managara Washington Simanjuntak.

Di masa itu, gadis seprogressive Kartini saja akhirnya menyerah dijodohkan dengan Bupati beristri banyak. Opung Mak sudah bisa punya sikap dan berkata tidak.

Tapi sekarang Opung Mak  selalu mengeluh Opung Pak hidung belang yang main mata sama janda sebelah. Baguslah dia mati.

Di waktu lain dia selalu bersenandung lagu merindu sambil memandang mesra foto Opung Pak. "Na sonang do hita na dua..."

Sudah 20 tahun sejak Opung Pak meniggalkan dia. Berkali-kali ada indikasi dia segera menyusul kekasihnya, tapi tidak juga.

Papi sempat berpikir  gak mau hidup lama-lama dan ngerepotin orang. Apakah Papi merasa direpotin Opung? Apakah Opung merasa Papi ngerasa direpotin?

Gue sempat berpikiran kalau Opung meninggal sekarang, episode 1 Demi Turki akan menjadi lebih festive. Terbayang footage kematian Batak yang dirayakan 3 hari 3 malam dengan tarian. A great way to start a story.

Dan cucu seperti ini yang dia beri gelang 24 karat. Pantas saja doi nyinyir.

Gue kembali memijit Opung, sambil membayangkan gue 70 tahun lagi ngapain. Mungkin gua masih aktif jalan-jalan membuat  film dan menyemangati manusia-manusia tua yang ingin mengejar mimpi.

Atau mungkin gue akan bersungut-sungut betapa anak muda tidak menghargai  film gua.

Selagi muda, jangan hakimi yang tua. Lo belum pernah tua. Lo gak tahu rasanya jadi dia.

Tuhan saja gak menghakimi, kenapa gue merusak diri sendiri dengan menghakimi? Rempong deh ah.

Lebih baik mengajak Opung menyanyi.

"Na sonang do hita na dua..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar