Minggu, 30 Maret 2014

Wanita-Wanita Pasca Nasional

“Kapan ya Indonesia gak gini-ginian lagi?” kata sesama sutradara sambil menonton bumper Galeri Indonesia Kaya yang tentunya diisi tari-tarian tradisional yang itu-itu lagi walau dengan bumbu-bumbu yang lebih modern. 

Di saat Jepang sudah punya Doraemon, dan Amerika sudah punya Walt Disney, Indonesia masih merasa yang dahulu adalah identitas nasionalnya. Seakan yang baru pasti sudah terkontaminasi asing dan bukan lagi identitas Indonesia asli.

Gue tidak menjawab, karena orasi Seno Gumira Ajidarma dalam rangka Hari Film Nasional akan segera dimulai. Judulnya adalah “Film Indonesia dan Identitas Nasional dalam kondisi Pascanasional”. 

Seno dengan sangat tajam mengatakan kalau saat ini kita terjebak dalam sebuah cita-cita pseudo nasionalis yang sebenarnya malah membatasi kita dari menjadi manusia kreatif yang mandiri dan selalu berkembang. Apalagi di zaman pasca nasionalis yang semuanya sudah semakin global dalam hitungan waktu yang sangat singkat ini.

Setidaknya itulah yang gue tangkap dari orasi berlembar-lembar penuh dengan bahasa yang tidak pernah dipakai manusia biasa-biasa saja seperti gue. Ada bagian-bagian yang tidak mampu gue mengerti. Tapi bagian akhirnya gue mengerti dan menyejukkan hati karena datangnya dari seorang pria yang pendapatnya kami hormati.

Semua kalimat ngejelimet Seno tadi diakhiri dengan pernyataan kalau mulainya babak baru sinema Indonesia Pasca Nasional mungkin dapat kita pahami dengan menyelidiki bagaimana dari 33 sutradara wanita Indonesia yang pernah tercatat dalam sejarah perfilman kita, ada 28 yang sedang aktif membuat film saat ini.


Jangan-jangan Doraemon dan Walt Disney Indonesia nantinya wanita.

Atau yang merasa wanita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar