"Ya kita juga pernah pakai dream*****.
Tapi memang kejadiannya selalu begini. Gambarnya kurang gamma," katanya
mempromosikan alatnya dan diam-diam menghujat alat kami.
"There is no cheap solution,"
katanya lagi sambil menceritakan betapa alatnya sudah dikalibrasi dan sesuai
dengan standar kualitas satu-satunya bioskop di Indonesia.
"I think we're fucked," tutur gue
sambil coba mengkalkulasi tambahan biaya untuk masuk editing suite sekali lagi.
Tentunya setelah gak ada doi.
"Welcome to Jakarta," kata sutradara
sambil menikmati bubur tiga rasa. "Tapi kalau di Hollywood sih semuanya
pasti kaya om tadi. Aturannya harus jelas."
Gue tidak berkomentar karena belum pernah
kerja di Hollywood. Masih curiga semua biaya ini kongkalikong monopoli.
"Madame X kan lebih mahal. Emang lo
ngerasa lebih bagus?"
"Filmnya sih bagusan ini, tapi itu lebih
karena guenya udah better," jawab sutradara tidak memperpanjang
pembicaraan.
"Well, lesson learned-nya adalah: bikin
film gak bisa murah," katanya memblock semua film dengan budget di bawah
500 juta. Cuma terima film dengan budget
2 M ke atas.
Smartphonenya berbunyi, tanda email baru
masuk. Punya gue juga.
"Bok. Gue dibayar tiga juta se-episode
buat nulis," seru si sutradara
sebal.
"Gue juga direct dibayar cuma tiga
juta," jawab gue tidak berusaha menawar.
Projectnya seru dan yang bikin temen
sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar