Rabu, 12 Maret 2014

Bikin film gak bisa murah.

"Ya kita juga pernah pakai dream*****. Tapi memang kejadiannya selalu begini. Gambarnya kurang gamma," katanya mempromosikan alatnya dan diam-diam menghujat alat kami.

"There is no cheap solution," katanya lagi sambil menceritakan betapa alatnya sudah dikalibrasi dan sesuai dengan standar kualitas satu-satunya bioskop di Indonesia.

"I think we're fucked," tutur gue sambil coba mengkalkulasi tambahan biaya untuk masuk editing suite sekali lagi. Tentunya setelah gak ada doi.

"Welcome to Jakarta," kata sutradara sambil menikmati bubur tiga rasa. "Tapi kalau di Hollywood sih semuanya pasti kaya om tadi. Aturannya harus jelas."

Gue tidak berkomentar karena belum pernah kerja di Hollywood. Masih curiga semua biaya ini kongkalikong monopoli.

"Madame X kan lebih mahal. Emang lo ngerasa lebih bagus?"

"Filmnya sih bagusan ini, tapi itu lebih karena guenya udah better," jawab sutradara tidak memperpanjang pembicaraan.

"Well, lesson learned-nya adalah: bikin film gak bisa murah," katanya memblock semua film dengan budget di bawah 500 juta.  Cuma terima film dengan budget 2 M ke atas. 

Smartphonenya berbunyi, tanda email baru masuk. Punya gue juga.

"Bok. Gue dibayar tiga juta se-episode buat  nulis," seru si sutradara sebal.

"Gue juga direct dibayar cuma tiga juta," jawab gue tidak berusaha menawar. 

Projectnya seru dan yang bikin temen sendiri. 

Mungkin 2M harus ditunda ke Juni.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar