Senin, 10 Maret 2014

Badak Berhati Marmut

"Ini memang terbaik bagi SPM, but I am not happy," katanya mengakhiri Whatsapp di tengah malam buta.

And there goes my international career. Habis ini jangan harap film gue akan dia bawa ke festival film manapun.

Ternyata I have the mamak-mamak batak inside me. Kalau my baby ditayangkan jam 9 malam ke 200-an manusia yang gue gak tahu siapa, the mamak-mamak batak inside me will fight stubbornly for her baby.

Untunglah gue kemaren udah rekaman jadi penyanyi dangdut pengisi salah satu soundtrack film "Selamat Pagi, Malam". Jadi kalau nanti karir gue sebagai produser tamat, gue tinggal pindah jalur jadi penyanyi dangdut.

"Bisa nggak lo ngomongnya lebih soft, gak offensive dari awal?" tanya seorang teman yang khawatir kalau gue jadi penyanyi dangdut, kupingnya akan merasakan derita utama berhubung kami bertetangga.

I guess seharusnya this mamak-mamak batak inside me bisa dididik sedikit ya. Karena ribut-ribut begini memang membuat sedikit kerutan di wajah. Padahal sebagai penyanyi dangdut nanti kan gue butuh bebas kerutan biar banjir saweran di dada.

Tapi sebagai produser, kulit wajah gue terlanjur menebal, lebih tebal dari badak agar tak terusik dengan segala penolakan hinaan cacian dan ancaman. Tapi hati gue harus dijaga tetap selembut marmut, jadi tetap sensitif dengan cerita dan visi yang harus dijaga si kulit badak.

Tapi juga harus lihai seperti ular.  Kulit setebal apapun pasti hancur kalau semua diseruduk.


*pasang senyum ular

Ah gue gak cocok jadi ular.  Aku cuma seekor badak berhati marmut yang lebih kebayang jadi produser daripada penyanyi dangdut.

*Tetangga-tetangga sujud syukur. Badak gak jadi nyanyi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar