Minggu, 30 Maret 2014

Estetika Orang

“Lagu Ende itu kan sebenarnya lagu-lagu penjajah yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Batak. Kenapa sih harus kita rayakan  segitunya?” kata seorang campuran Jerman Batak yang merasa esensi budaya leluhurnya banyak dihambat karena pemahaman agama yang dangkal dicampur inferior complex akut yang sudah terwarisi berabad-abad.

Akhirnya dia menolak tawaran kolaborasi sebuah pagelaran acara musikal berdasarkan Buku Ende karena pihak penyelenggara tidak tertarik menyelidiki lebih jauh tentang budaya asli Batak. Lebih tertarik dengan Batak pasca Nomensen yang bangga karena sudah lebih Jerman.

Gue, si anak batak berayah batak dan beribu batak tidak berani berkomentar. Buku Ende di rumah gue sudah dianggap sebagai lagu-lagu suci yang tidak boleh sembarangan dinyanyikan bersama drum dan gitar elektrik. Nomensen diangap dewa tanpa cela yang berkat jasa-jasanyalah hari ini gue tidak lagi barbar dan bisa membaca. 

Bahkan terjemahan laporan asli Nomensen tentang keterlibatannya dalam pemusnahan Batak-Batak yang tidak sesuai kriteria Belanda pun dianggap hoax di rumah Mak Gondut.

Tapi dia berbeda. Lahir sebagai Batak yang beribu Jerman membuat dia lebih berani mengakui kalau lagu-lagu dalam buku Ende bukan budaya Batak asli  dan Nomensen bukan dewa yang tidak bisa dikritisi.  

Tapi pemahaman agama yang dangkal dan inferior complex akut sepertinya sudah menjangkiti seluruh negeri. 

Si Batak beribu Jerman ini bersuamikan Sunda. Sunda punya ritual menghormati air yang sangat membumi. Hari ini dia berangkat ke Taman Hutan Raya untuk merayakan hari air dan suwon dengan alam yang telah memberikan kita air. Tapi ritual ini ternyata sudah  diselipi ritual kata pengantar dan budaya hierarki ala Orde Baru, diselipi slogan-slogan Bandung Juara lengkap dengan jempolnya.

Gue membayangkan dia berfoto kebingungan di tengah-tengah para punggawa berseragam dengan senyum lebar dan jempol diacungkan.

Juara.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar