Minggu, 30 Maret 2014

Tuhan, Orang Tua, Dan Cinta

“Jadi lo maunya filmnya kaya apa? Lo ceritain lewat flashback gitu?” tanya sang suami setelah gue menceritakan betapa di Tanah Batak tidak ada kata maaf, tapi ada semacam upacara meminta maaf.

“Yang gue kebayang sih a simple story ya. Tentang ayah dan anak,” jawab gue belum menjelaskan ceritanya. 

Karena memang gue belum tahu persisnya apa yang mau gue ceritakan lewat Raja Kata. Gue tahu temanya tentang maaf. Karakter utamanya seorang pendeta wanita muda dan ayahnya yang godfather. Tadinya mau sejenis Olo Panggabean. Tapi kalau mau menceritakan tokoh godfather di Indonesia mendingan karakternya tentara.

Gue tahu ada dua scene yang harus ada. Scene menari mengelilingi mayat diiringi lagu Batak yang sangat festive, gak cocok untuk merayakan kematian bagi banyak budaya di dunia. Dan scene menonton orang tenggelam di Danau Toba yang indah, tanpa berusaha melakukan apapun.

“Kayanya lo mending sekolahnya antropologi atau social studies deh, Tid. Jangan film,” kata sang istri.

Gue mengangguk-angguk seperti anak yang baik. Rasanya senang mendapatkan sepasang suami istri yang bisa gue ajak diskusi banyak hal. 

Gue teringat sepasang suami istri lain ketika gue tinggal di Singapura. Sabtu pagi kami selalu diisi diskusi bertiga mengenai Tuhan dan keajaiban-keajaibannya. 

Sekarang gue tidak lagi berdiskusi dengan mereka.  Mereka lebih suka anaknya bermain bola daripada menonton Glee yang dipenuhi remaja-remaja penyuka sesama. 

Karenanya gue mencari orang tua lain.

Mungkin gue selalu mencari orang tua lain.

Bukan karena Papi dan Mami bukan orang tua yang baik. Tapi Papi dan Mami sudah punya dunia sendiri yang mereka yakini benar adanya dan diciptakan dengan baik oleh Tuhan mereka. Dan gue tidak sampai hati mengajak mereka berpetualang dengan pertanyaan-pertanyaan gue yang tidak dapat dijawab tanpa menghormati kemungkinan Tuhan hanyalah imajinasi belaka.

Tuhan, orang tua, dan cinta. Mungkin itulah yang tanpa sadar selalu gue cari  dalam dua film sebelumnya dan setidaknya tiga film setelahnya.

Mungkin karena gue dibesarkan di tradisi agama yang memanggil Tuhan sebagai Bapa dan Maria sebagai Bunda.

Mungkin karena gue dibesarkan di negara yang terlalu banyak memakai kata Tuhan, bahkan di lima silanya, tapi Tuhannya cuma boleh milih satu di antara lima.

Mungkin karena Tuhan yang gue kenal sangat santai, tidak seperti pengikutnya. 

Mungkin gue hanya ingin bertanya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar