"Seluloid itu penting karena..."
Mereka dengan semangat mempromosikan seluloid
sebagai si medium seksi bagi para storyteller serius yang berani berkonsep dan
gak asal shoot. Tidak seperti medium digital yang membuat para storyteller suka
asal ambil tanpa tahu mau bercerita apa.
Gue terharu dengan semangat mereka menginvestasikan
waktunya mengajarkan seluloid ke mahkluk cheapo budget conscious seperti gue. Gue
cuma ingin bercerita, dan harga seluloid tidak menyisakan ruang buat filmmaker
tak berduit seperti gue untuk trial and error.
Hari ini gue ikutan workshop seluloid seharga
500 ribu selama 2 jam untuk footage hanya 60 detik. Harga yang sangat mahal
dengan alat-alat yang tidak praktis.
Tidak heran sekarang teknologi seluloid
ditinggalkan, karena dianggap terlalu mahal. Seperti juga gedung ini, Gedung
Perfilman Negara, yang konon dipenuhi para pekerja industri film dengan
alat-alat impor Amerika dan Eropa terbaru di jamannya.
Sekarang alat-alat mahal itu hanya teronggok
bergitu saja. Sebagian terlihat
bolong-bolong, mungkin dijual kiloan sebagai besi tua oleh para pegawainya yang
rata-rata tua dan tidak pernah membuat film lagi. Reel-reel bertuliskan serial
Unyil dan film-film populer lainnya digeletakkan di rak-rak tak terurus. Bahkan
lampu saja tidak lagi hidup di gedung ini.
Setelah workshop selesai, gue tetap si cheapo
yang sama, yang masih akan terus membuat film dengan medium digital. Tapi hari
ini gue mengeluarkan uang 500 ribu dengan
bahagia. Gue gak cinta cinta seluloid, tapi gue cinta mereka.
Orang-orang yang mau susah payah membuat film
seluloid di tengah kemudahan digital ini tentunya punya hati dan energi untuk
menghargai sejarah.
Mereka yang tidak mengenal sejarah tidak akan
pernah menjadi sejarah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar