Senin, 10 Maret 2014

Seluloid

"Seluloid itu penting karena..."

Mereka dengan semangat mempromosikan seluloid sebagai si medium seksi bagi para storyteller serius yang berani berkonsep dan gak asal shoot. Tidak seperti medium digital yang membuat para storyteller suka asal ambil tanpa tahu mau bercerita apa. 

Gue terharu dengan semangat mereka menginvestasikan waktunya mengajarkan seluloid ke mahkluk cheapo budget conscious seperti gue. Gue cuma ingin bercerita, dan harga seluloid tidak menyisakan ruang buat filmmaker tak berduit seperti gue untuk trial and error.

Hari ini gue ikutan workshop seluloid seharga 500 ribu selama 2 jam untuk footage hanya 60 detik. Harga yang sangat mahal dengan alat-alat yang tidak praktis.

Tidak heran sekarang teknologi seluloid ditinggalkan, karena dianggap terlalu mahal. Seperti juga gedung ini, Gedung Perfilman Negara, yang konon dipenuhi para pekerja industri film dengan alat-alat impor Amerika dan Eropa terbaru di jamannya.

Sekarang alat-alat mahal itu hanya teronggok bergitu saja.  Sebagian terlihat bolong-bolong, mungkin dijual kiloan sebagai besi tua oleh para pegawainya yang rata-rata tua dan tidak pernah membuat film lagi. Reel-reel bertuliskan serial Unyil dan film-film populer lainnya digeletakkan di rak-rak tak terurus. Bahkan lampu saja tidak lagi hidup di gedung ini. 

Setelah workshop selesai, gue tetap si cheapo yang sama, yang masih akan terus membuat film dengan medium digital. Tapi hari ini gue mengeluarkan uang  500 ribu dengan bahagia. Gue gak cinta cinta seluloid, tapi gue cinta mereka.

Orang-orang yang mau susah payah membuat film seluloid di tengah kemudahan digital ini tentunya punya hati dan energi untuk menghargai sejarah.


Mereka yang tidak mengenal sejarah tidak akan pernah menjadi sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar