Kamis, 13 Maret 2014

Selamat Tinggal, Pantat

Trisa Triandesa meraung-raung minta sutradara tidak membuang adegan pantat seksinya yang gak jadi menghibur masyarakat penonton film Indonesia. Tapi apa dikata, catatan sensor berkata "sebaiknya" adegan tersebut ditiadakan bersama 5 adegan lainnya.

"Rekor tuh Taman Lawang. Ada sembilan," kata bapak pembuat DCP yang sudah menyaksikan malang melintang berbagai film Indonesia.  

"Tapi ini di catatannya 'sebaiknya' kan? Berarti gak harus dipotong," tangkis sutradara mencari celah.

Bisa aja dicoba. Tapi kalau ditolak ya harus bayar sensor sekali lagi.

Konon Riri Riza dan  Nia Dinata sudah pernah memperjuangkan sensor diganti menjadi pengkategorian film berdasarkan umur,  seperti di banyak bangsa berbudaya umumnya. Tapi tampaknya Indonesia masih ketakutan dengan penampakan bercinta dan lebih memilih adegan bunuh-bunuhan di layar bioskopnya.

"Ini di web lembaga sensor ada sensor jenis untuk festival dan bisa gak dipotong sama sekali," seru sutradara meriset undang-undang.

"Itu buat festival di luar negeri. Kalau fesivalnya dalam negeri, sama aja aturannya harus dipotong," whatsapp si calo sensor.

"Emang butuh sensor kalau ke festival luar negeri?" tanyanya bingung.

Dan masih banyak pertanyaan lain yang tidak bisa dijawab dengan logika. Misalnya: kenapa sensor harus pakai DCP? Kenapa tidak ada workflow jelas untuk menyensor film di websitenya sendiri?

Hanya bisa dijawab dengan: Ya ini Indonesia.

There is no place for pantat here.

Sutradara dan produser kere ini pun akhirnya menyerah pada gunting sensor. Di era digital ini, masih banyak cara agar pantat Trisa tetap bisa dikonsumsi publik.

SPM dipotong di 6 titik.


Malam ini Jakarta hujan lebih deras.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar