Trisa Triandesa meraung-raung minta sutradara
tidak membuang adegan pantat seksinya yang gak jadi menghibur masyarakat
penonton film Indonesia. Tapi apa dikata, catatan sensor berkata
"sebaiknya" adegan tersebut ditiadakan bersama 5 adegan lainnya.
"Rekor tuh Taman Lawang. Ada
sembilan," kata bapak pembuat DCP yang sudah menyaksikan malang melintang
berbagai film Indonesia.
"Tapi ini di catatannya 'sebaiknya' kan?
Berarti gak harus dipotong," tangkis sutradara mencari celah.
Bisa aja dicoba. Tapi kalau ditolak ya harus
bayar sensor sekali lagi.
Konon Riri Riza dan Nia Dinata sudah pernah memperjuangkan sensor
diganti menjadi pengkategorian film berdasarkan umur, seperti di banyak bangsa berbudaya umumnya.
Tapi tampaknya Indonesia masih ketakutan dengan penampakan bercinta dan lebih
memilih adegan bunuh-bunuhan di layar bioskopnya.
"Ini di web lembaga sensor ada sensor
jenis untuk festival dan bisa gak dipotong sama sekali," seru sutradara
meriset undang-undang.
"Itu buat festival di luar negeri. Kalau
fesivalnya dalam negeri, sama aja aturannya harus dipotong," whatsapp si
calo sensor.
"Emang butuh sensor kalau ke festival
luar negeri?" tanyanya bingung.
Dan masih banyak pertanyaan lain yang tidak
bisa dijawab dengan logika. Misalnya: kenapa sensor harus pakai DCP? Kenapa
tidak ada workflow jelas untuk menyensor film di websitenya sendiri?
Hanya bisa dijawab dengan: Ya ini Indonesia.
There is no place for pantat here.
SPM dipotong di 6 titik.
Malam ini Jakarta hujan lebih deras.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar