Sabtu, 29 Maret 2014

Jakarta

Jakarta adalah kota terakhir di muka bumi yang akan gue tinggali. Sebenarnya ini bukan kota, lebih mirip kampung kebesaran yang semakin membesar tanpa perencanaan, tanpa aturan, dan tanpa pemerintahan yang berwibawa sehingga mau tak mau harus digolongkan kota. 

Semuanya ada di Jakarta.  Ada Central Park. Ada Soho.  Ada Manhattan. Ada Broadway. Yang gak ada hanya identitas and a good skyline for our movie poster representing Jakarta.

Begitu gue lulus, gue langsung kerja ke Singapura. Jangan sampai gue kerja di Jakarta. Di Jakarta gajinya kecil tapi biaya hidup dan lifestyle orang-orangnya sudah kaya Singapura. Ya mending kerja ke Singapur sekalian. Masa bodoh dengan nasionalisme bla bla bla, daripada gue macet-macetan di Jakarta.

Tapi dengan kebodohan berbulu semangat heroik umur dua puluhan, gue kembali ke Indonesia untuk membuat film. Ke Bandung, tepatnya. Bukan Jakarta.

Sampai datanglah Lucky Kuswandi dan scriptnya “Selamat Pagi, Malam” yang bercerita tentang Jakarta. Scriptnya indah, mampu membuat pantat gue keluar dari kubangan hibernasinya di Bandung, dan melenggang shooting ke Ibukota. 

Dan seperti sudah gue duga sebelumnya, shooting di Jakarta tidak seindah script Lucky.

Tapi film ini berhasil membuat gue mau untuk sementara tinggal di Jakarta. Ternyata orang-orangnya tidak semembosankan bangunannya. Dan malam-malamnya tidak semenjijikkan siangnya. 

Tapi berhubung gue jam 10 udah bobo, jadi sudahlah lupakan. 


DInikmati sajalah bau-bau knalpot ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar