Air di kamar mandi lantai atas ini menetes lambat-lambat, sementara taik-taik di sana sudah minta disiram. Entah sudah berapa kali pompa air kami bermasalah.
Rumah ini sudah tua.
Dua puluh tahun, seharusnya masih balita untuk umur rumah. Lihatlah rumah kanan kiri kita, yang dibangun penjajah Opung, yang sudah seabad berdiri anggun tak bocor-bocor tak ngadat-ngadat.
Rumah ini dibangun dua puluh tahun yang lalu, sebagai bagian dari extension sebuah pavilion yang konon terlalu kecil ditinggali Papi, Mami, dan tiga anaknya. Plus dua pembantu yang silih berganti.
Mungkin bukan karena rumah kami terlalu kecil. Saat itu papi ditempatkan di Kalimantan, jadi banyak dikasih kayu-kayu indah dari toke-toke penebang hutan. Sekalian aja dibikin rumah 3 lantai + loteng.
Legal atau tidak, gue gak pernah nanya.
Walaupun dikerjakan tukang-tukang Bandung yang tak cinta kayu, bagian kayu dari rumah ini tetap cantik setelah 20 tahun karena memang kayunya dari kualitas terbaik. Asal jangan lihat terlalu dekat, barulah berasa betapa rumah ini dikerjakan asal-asalan.
Tapi begitu sampai ke bagian non kayu-kayuan, bagian di mana Papi harus membeli, tidak ada lagi kualitas terbaik yang bisa dibanggakan setelah 20 tahun. Pompanya pompa Cina murah dengan pipa hilir mudik tambal sulam. Talangnya tidak direncanakan, bocor tiap hujan besar. Betonnya tidak sempurna, meninggalkan bercak-bercak lembab di dinding. Marmernya asal tempel, ditambal sealant putih tak sedap dipandang di setiap sudutnya.
Papi sudah tua.
Sekarang giliran gue berbenah pipa. Gak boleh lagi mengharap Papi.
Siram taik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar