Sebuah USB berisikan film-film pendek yang sudah dipilihkan datang. Gue mencoloknya ke TV dengan bahagia.
Nonton film, komentar, dan dibayar. What a wonderful way to spend my evening.
Apalagi film-film pendek Indonesia sekarang semakin seru. Lebih seru dari film panjangnya. Mungkin karena gak perlu kompromi dengan duit dan media, jadi lebih bebas mau ngangkat cerita apa saja dan bisa eksplorasi gaya bercerita baru.
Berbekal sagu coklat di kanan, gue memulai nonton.
Film pertama, hmmm...
Mungkin yang ke dua lebih menarik...
Ke tiga...
Ke empat...
I need more sagu coklat.
Kenapa film pendek Indonesia jadi membosankan lagi? Apa karena dikasih tema perempuan?
Lagi-lagi mbak-mbak pelacur yang cita-citanya kawin. Anak berbakti yang rela melacur demi ibu yang sakit. Kakak yang rela putus sekolah demi adiknya. Anak lugu yang diajak melacur ama temennya yang materialistis. Anak yang gak mau jadi kaya ibunya tapi dikasih surat doang langsung rindu. Emak-emak gosip yang gak suka tetangga senang.
Dengan begitu banyaknya drama mendayu-dayu yang ditampilkan, gak satu pun karakter yang gue ingat. Mungkin karena sudah terlalu sering gue lihat di film lain.
Di zaman The Good Wife aja udah berani minta cerai dan tetap menjadi ibu yang baik, kenapa karakter film kita masih tetap hitam putih? Kalau gak baik ya jahat. Kalau gak ibu yang buruk, ya ibu yang baik. Gak bisa dua-duanya sekaligus?
Kita butuh perempuan-perempuan yang lebih kompleks di layar kita. Yang sayang anak, tapi pengen kerja. Yang melacur, tapi suka melacur. Yang kawin, tapi suka kawin. Yang jelek, tapi banyak pacar. Yang lebih mirip kita. Yang apalah terserah...
Asal bukan mirip film lain.
Rabu, 18 Mei 2016
Perempuan-Perempuan Membosankan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar