Badannya bungkuk, tapi six pack. Hitam legam, lebih hitam dari orang sini, akibat kelamaan di luar, mengatur setiap mobil yang lewat.
"Woi, minggir Justo!" kata satu supir angkot yang mau lewat tapi terhalang Justo yang malah ngeprit ngeprit di tengah jalan dengan pluit-nya.
Justo minggir, masuk ke teras kedai kopi tempat gue duduk menikmati Kopi Rarobang.
"He! Jangan masuk sini," kata si Usi pelayan kedai.
Justo pun duduk di tangga luar. Tak lama si Usi memberikan segelas es kopi susu pada Justo walaupun dia tidak memesan.
Dari dekat, lebih jelas kalau pandangan Justo selalu resah dan kosong, seperti orang-orang gila di pinggir jalan Jakarta. Hanya saja orang-orang sini tidak takut pada Justo, seperti pada orang-orang gila Jakarta. Justo yang sepertinya takut pada mereka.
Seorang ABG cewe berrok mini lewat, Justo mencoba mendekat. Dengan sigap si ABG melempar batu kecil yang ternyata sudah dia pegang dari tadi. Gak kena Justo, tapi cukup untuk membuat Justo gak jadi mendekat.
Justo kembali merapat ke pagar, mengocok-ngocok es kopi susu gratisannya sambil ngeprit-ngeprit tanpa ada satu mobil pun peduli.
"Waktu konflik, keluarganya dibunuh di depan matanya. Waktu itu dia masih SMP," kata Bung Feri yang menemani kami hari itu.
Justo tidak menghabiskan es kopi susunya, kembali ngeprit-ngeprit di tengah jalan. Sesekali memandang simpang besar tempat sebuah gereja baru berdiri.
Di balik gereja itu, agama lain bermukim. Mereka tidak lagi hidup berdampingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar