Gue pengen punya kandang di mana gue bisa berkarya. Gak gue aja, sekitar gue juga. Gak ada pagar, tapi cukup kondusif buat bareng-bareng mikirin ide-ide yang membuat lingkungan kita jadi lebih membanggakan dan menyenangkan. Lingkungan yang gak saling menghakimi dan lebih senang mengeksplorasi diri masing-masing.
Di sana ada juga kafe Stella. Yang masakannya enak tapi organik. Yang bahan-bahannya dibeli dari petani sekitar. Gak papalah ada daging-dagingan. Yang penting tahu tempe dan jamur juga ada.
Di sana juga ada perpustakaan Ajo. Di mana anak-anak sekitar bisa belajar apa aja yang mereka mau. Biar sore-sore mereka gak cuma diisi sinetron Turki dan snapchat. Biar kalau si Virgo-Virgo Mokmok berkunjung, mereka ada teman dari berbagai lapisan.
Di sana ada juga tempat pemutaran. Bisa mutar film, nari, nyanyi, atau karaokean. Bisa juga reading karya-karya sastra yang gak harus ditulis di sini, tapi bisa membuat kita lebih menghargai sekitar kita. Gak lagi bermimpi bisa tinggal di luar negeri.
Ada studio film dengan green screen sederhana dan ruangan rapat multi fungsi. Ada ruang musik juga buat dia .
Di bagian belakang, ada rumah susun 4 lantai buat gue, Indri, Mas Yusuf, dan teman-teman gue yang gemar bekerja keras tapi gak mungkin punya rumah dengan sistem ekonomi seperti ini. Lantai dasarnya ada B&B yang bisa gue sewain ke turis-turis yang tertarik dengan gaya hidup kami. Atau buat Lucky Ucu Sunny Daud atau siapa aja yang lagi kabur dari Jakarta. Bisa juga buat Sally atau Anky yang kecapean ngedit dan malas pulang.
Ada kebun dan sumber air juga. Jadi kalau Indonesia jadi perang dan kami terpaksa bekubang, kita gak akan kekurangan makanan.
"Ya dibikinlah, jangan ngemeng doang," kata si pemilik kafe.
One step at a time. Tulislah dulu film pembawa uang itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar