"Lo udah pernah nonton The Great Gatsby?" tanyanya.
"Baca novelnya udah. Kenapa?"
"Nggak. Cewenya mirip dia. Gak bisa milih mau cowo yang mana."
Gue gak bilang kalau gue belum selesai baca novelnya. Di tengah novel, Daisy masih bilang kalau cintanya hanya Gatsby. Masih ngajak Gatsby lari bersama. Masih bilang andaikan Gatsby selalu ada di sisinya.
Mana gue tahu ternyata di akhir film si Daisy juga cinta suaminya. Mana gue tahu ternyata di akhir film Daisy gak menikahi Gatsby karena dulu Gatsby penniless. Mana gue tahu kalau akhirnya Daisy memilih suaminya dan terlalu penakut untuk ngasih tahu pilihannya ke Gatsby.
Gatsby ditinggal menunggui telepon yang gak pernah berdering. Sekalinya berdering, bukan dari Daisy.
Gatsby oh Gatsby... Ganteng ganteng kok delusional. Gak bisa lihat kalau Daisy lebih cinta security daripada segalanya.
Gatsby is a man of hope. His vision brought him to his American Dream. His vision is so clear, his belief is so strong, he cannot see that Daisy is just a coward who is used to live in the other side of the river where all the Old Money are.
Gue menangisi Gatsby yang tampan dan kaya raya, mengambang di kolam renang impiannya yang airnya berubah merah. Dia baru 32.
Kalau saja dia mau melupakan Daisy dan move on, hidup sampai 65, seperti Jep di The Great Beauty, dia pasti akan bahagia hidup dari party ke party berganti-ganti wanita dan tetap menjadi The Great Gatsby.
Tapi nggak. Setelah berbagai macam wanita, Jep masih penasaran kenapa Elisa meninggalkannya 48 tahun yang lalu.
Mungkin Elisa hanya mau hidup aman bersama suami yang bisa jadi a good companion. Kaya Daisy.
Tak ada gunanya menyalahkan Elisa. Atau Daisy. We all did what we did to survive.
"No need to feel superior. You are 53, with a shattered life, just like we all here. You should see us with affection. Just look at each other's face, keep each other's company, joke a little..."
Gue tersenyum memandangi Jep menjalani Roma. Di kanan kiri semua jenis ugly, but somehow it feels beautiful in the movie.
Mungkin sudah waktunya memaafkan dan terus berjalan. Air mata hanya mengaburkan the great beauty di kanan dan kiri.
"Do you know why I eat only roots?" kata si nenek ala Mother Teresa pada Jep.
"Because roots are important."
Penting tapi tidak terlihat, hanya diam-diam di dalam tanah. Tidak berusaha memamerkan keindahannya. Biarlah buah yang kebagian dikagumi. Sudah terlalu banyak The Great di muka bumi.
Besok gue makan kentang ah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar