Rabu, 22 Januari 2014

Mediocrity

"Belum disetrika mbak. Yang nyetrika cuma satu," kata mas mas laundry shop kalibata tanpa merasa bersalah.

"Mas, saya udah datang kemaren dan mas bilang selesai sore ini."

"Ya saya juga udah bilangin mbak." Dia kembali ke hp esia bututnya ngobrol dengan perempuan beraksen betawi teriak-teriak.

"Besok katanya mbak," tambahnya dengan muka songong.

"Mas. Awalnya mas janji tanggal 18. Ini udah tanggal 22. Mas ini niat usaha gak sih?"

Dia kembali kasak kusuk dengan si suara betawi.

"Mbak ngomong sendiri deh," tambahnya malas sambil memberikan hp esianya.

"Mas yg ngomong ama dia. Bukan urusan saya. Mas kerjain tugas mas."

"Malam ini deh mbak jam 12."

"Jam 10 mas. Saya udah harus ke bandung."

"Ya udah deh saya ke sana ambil sendiri mbak. Belum disetrika gapapa?"

Gue mengangguk kesal. No option. Gue gak punya baju lagi.

Jam 10 gue kembali ke tokonya. Ditutup rapi dengan gembok dan telponnya gak ada yang aktif.

Gue menendang pintu Laundry Shop dengan kesal.

Tapi gue terlalu penakut untuk menendang lebih keras. Akhirnya cuma nge-sms ke hp hp matinya: "Tolong hubungi saya secepatnya. Saya minta baju dan uang langganan saya dikembalikan secepatnya. Anda janji akan diberikan malam ini jam 10 tahunya toko anda ditutup dan semua hp mati. Segera kabari atau saya hancurkan toko anda."

Hancurkan toko anda?

I guess gue udah kebanyakan nonton Sherlock Holmes.

Ngapain merusak pikiran gue dengan kemarahan? Cucian gue harganya 2 juta, duit membership 120 ribu. My mind is worth more than that.

Siapa suruh pilih laundry 7000an.

In this land of mediocrity, you get what you pay.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar