"Gak bisa jual murah lagi. You've produced 3 features lho," kata sutradaraku tersayang memotivasi gue untuk cari duit lebih banyak.
Act like a producer. We are making good movies. Anyone will be lucky to have us for their brand. Tapi orang Jakarta sangat dipengaruhi first impression.
"Start with a power bag," katanya sambil melirik sinis tas Aigner warisan Mak Gondut yang sudah baret baret sana sini.
This is Jakarta. Kalau lo meeting pakai tas 300 jutaan dan berlian di kuping dan jari, orang gak akan berani nawar lo.
300 juta gue udah bikin 3 film cin(T)a.
"Well you are the next Nia Dinata. Bahkan mungkin lebih," kata sesama produser yang langsung gue sambut dengan amin tiga kali semoga didengar Doi.
Tapi tas Nia Dinata 300 juta. Mungkinkah produser dengan tas buruk rupa seperti gue dilirik Jakarta?
Dari logika manusia umumnya, tentunya gak ada hubungan antara harga tas dan prestasi kerja. Tapi di Jakarta, kandang para konsumen dan pasar produk bilateral Jepang Eropa Amerika dan China, how much you look menentukan how much you get paid.
Not the other way around.
Haruskah gue bergabung dengan mbak-mbak kelas menengah lain membeli tas impor dengan harga di luar logika dengan harapan gue cepat naik harga?
Ah gue beli macbook pro aja deh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar