Minggu, 26 Januari 2014

Roots

"I am like a bird. I only fly away," kata gue   mengutip lagu mbak-mbak Spanyol yang merantau ke LA. Saat itu gue umur 21. Kota kecil di Eropa itu terasa lebih rumah daripada Bandung.

"You should know your roots," katanya serius. "Otherwise you'll fall down."

Gue tidak membantah, walaupun dalam hati tidak mengerti pentingnya asal usul. Masih lebih percaya si mbak-mbak Spanyol. Eh, apa portugis?

Mungkin bagi orang seperti dia penting. Gue menamai dia Czech chick, padahal dia dari Slowakia. Gue mengira dia dari Ceko. Gak tahu kalau Slowakia sudah jadi negara sendiri.

Czech chick tidak berusaha memperpanjang dan kembali ngobrolin hal-hal tak penting macam kaca mata The Beatles-nya yang telat mode 40 tahun.

Tapi 10 tahun kemudian, kata-katanya masih mengiang.

Tahun ini sebuah film The Act Of Killing kembali membawa nama Indonesia dan lagi-lagi tidak boleh beredar di Indonesia. Juru bicara pemerintah menuduh ini usaha orang Amerika untuk menjelekkan Indonesia.

"Bangsa lain kan juga ada sejarah jelek. Contohnya perbudakan di Amerika."

Film perbudakan di Amerika ternyata juga masuk daftar film terbaik Oskar. Yang bikin orang Inggris pula. Tapi film ini tetap tayang di Amerika. Dan juru bicara pemerintahnya tidak menuduh Inggris menjelekkan namanya.

Ingatan gue kembali ke tahun 2000 saat internet belum sefasih sekarang. Saat itu gue 17 tahun, pertama kalinya tinggal di Amerika, pertama kalinya nonton The Year Of Living Dangerously. Baru tahu kalau film ini ada. Gak boleh masuk Indonesia. Baru tahu kalau negara lain tidak melulu melihat Suharto sebagai bapak pembangunan yang selalu dipuja-puja.

Ini memang nasib gue dan angkatan gue yang lahir di tahun 1983, setelah 18 tahun bangsa ini dibutakan  secara sejarah dan harus menelan sistem CBSA yang sama sekali tidak membuat siswa aktif. Gue tumbuh menjadi siswa yang terima jadi, buta sejarah, dan haus approval guru.

Gue cuma tahu rumus, gak tahu logika. Gue cuma tahu akhir, gak tahu asal.

Dari mana gue berasal?

Gue Batak yang lahir dan besar di Bandung. Pulang ke Sigumpar, gue dianggap orang Bandung karena terlalu halus dan bilang punten tiap mau lewat. Di Bandung, gue tetap dianggap Batak Goblok yang berani-beraninya masang baju Persib di anjing.

Kalau menurut tes di Facebook, gue harusnya tinggal di Paris. Tapi memori gue tentang Paris diwarnai bau pesing di tiap stasiun metro. Bukan kota yang tepat untuk hidup, apalagi setelah Paris tak lagi semurah sebelum 1998.

"I don't know where my home is. I don't know where my soul is...," kata gue melanjutkan lirik si Mbak Spanyol/ Portugis/ Amerika.

The Czech Chick kembali ke kamarnya, meninggalkan gue bernyanyi-nyanyi dengan gitar dan Bir cherry dari Belgia. Dia sangat disiplin, harus membaca berbagai buku 6 jam setiap harinya agar wawasannya luas dan kelak bisa menjadi guru yang baik.

Sepuluh tahun yang lalu, gue heran kenapa orang sepintar itu malah jadi guru.

Sekarang gue merasa bodoh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar