Senin, 29 November 2010

Hiphop Diningrat

Tujuh pemuda Jogja berbatik, berkupluk ala black New Yorkers, dan bersepatu gendut dipajang untuk Q&A di depan setelah pemutaran film dokumenter tentang mereka, Java Hiphop Foundation. Pertanyaan apa yang akan dicecarkan penonton setelah mendengar Serat Centini dan Gurindam 12 dihiphopkan?

"Kalau mau nanya yang susah-susah, jangan ya. Kita gak bisa jawab. Kita bukan filmmaker," katanya dengan kerendahan hati yang terdengar sangat percaya diri.

Mereka membuat budaya lokal jadi terdengar sangat kontemporer. Ternyata penonton malah menikmati warisan budaya mereka di-bronx-kan.

Kok bisa sampai diundang ke Singapur?

"Kata panitianya sih buat ngajarin Orang Singapur bagaimana bikin budaya lokal lebih global."

Kapan ke London?

"Nunggu diundang. Kita gak bisa bikin proposal bagus-bagus kaya filmmaker. Gak ada tendensi untuk kontemporer."

Ada niat untuk bikin CD kompilasi buat ngebantu Merapi?

"Nggak ada. Saya ngangkut-ngangkutin jenazah aja. Saat itu Merapi butuhnya tukang ngangkut jenazah, gak butuh rapper."

Gue jatuh cinta pada rapper-rapper sombong nan rendah hati ini. Pulang-pulang minta foto bareng.

Semoga gue bisa bikin film tanpa tendensi untuk kontemporer.

1 komentar: