"Kita harus punya festival fillm internasional di
Bandung," kata seorang filmmaker Bandung yang seperti filmmaker Bandung lainnya
tidak ada yang ngeh dia Bandung. Dianggap sekotak sama Jakarta.
Berbeda dengan filmmaker Jogja yang gampang terdeteksi. Selain
karena ksennya yang kelewat beda, mereka sepertinya selalu rindu pulang. Tiap Desember banyak yang sudah mengosongkan jadwal
biar bisa ke Jogja menonton/ membuat berbagai festival macam JAFF, FFD, dan
banyak lagi.
Bandung beda. Bandung punya tak kalah banyak filmmaker sukses,
tapi belum tentu orang tahu dia Bandung. Juga tidak ada kerinduan menyediakan
waktu khusus kembali ke Bandung karena tiap hari juga bisa. Apalagi kalau nanti
ada kereta cepat.
Sebenarnya Bandung potensial menjadi tempat berkarya. Musik.
Fashion. Kuliner. Tapi bukan film.
Sudah sering gue dengar pengen bikin festival film internasional.
Ada pemerintah banyak duit tapi kurang pengetahuan. Ada mahasiswa idealis tapi
kurang perencanaan. Ada komunitas clueless yang nonton film aja gak suka-suka
amat. Tapi dia beda. Dia punya pengetahuan dan jaringan yang sepertinya bisa
mewujudkan festival ini.
Tapi gue selalu curiga dengan yang terlalu besar.
Sebelum gue terjerumus lagi di program-program ambisius
cowo-cowo kebanyakan ego, gue harus menanyakan ke diri sendiri. Emang gue butuh
festival film?
Ada satu masa gue senang sekali menonton film di festival
karena gue bisa nonton film-film keren yang gak bisa gue tonton kalau gak di
festival. Semenjak internet membuka kesempatan nonton semua film, legal maupun
tidak, gue jadi kehilangan semangat nonton di festival. Festival cuma jadi
ajang networking, bukan nonton film.
"Kenapa sih lo mau bikin festival film?"
"Bandung semakin ekstrim kanan. Kalau ada festival film
kan kita bisa memperlihatkan banyak dunia lain yang lebih menarik daripada
membeda-bedakan orang," katanya.
Tentunya cuma di dalam angan-angan gue.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar