Selasa, 11 Februari 2014

Inferior Complex

Setahun setelah 1998, Gus Dur memberlakukan libur bagi bulan puasa dan seterusnya. Pertama kalinya dapat libur panjang, berasa bagaikan summer seperti anak-anak SMA di Beverly Hills  90210. Gue mengunjungi Papi yang sedang dinas di Papua yang saat itu entahlah masih bernama Irian Jaya  atau nggak.  

13 jam di pesawat. Begitu turun, gue langsung dikawal seorang tentara dengan AK 47 di bahunya. Wajahnya tidak sangar seperti teroris bersenapan sama di film-film. AK 47 terlihat seperti mainan di bahunya. Tapi dia tetap harus bawa karena konon ada gerombolan perusak keamanan yang siap sedia menculik gue di kesempatan pertama.    

Di belakang rumah dinas Papi, langsung terbentang pemandangan indah mengarah ke danau yang dipanggil Sembat. Tapi sepanjang summer gue tidak pernah ke danau itu walaupun katanya melewati hutan warna warni.  

Gue lebih tertarik nonton TV  atau mengunjungi sebuah perumahan lain yang dikelilingi pagar berduri.   Perumahan ini hanya dihuni orang yang kulitnya putih kaya Brenda dan Kelly 90210. Tidak sembarang putih. Tidak ada Jawa di sana. (semua orang Indonesia non papua mereka sebut jawa, termasuk batak kaya gue)  

Tidak semua Jawa bisa masuk ke sana. Untung gue disetiri si om ber-AK 47 jadi gue bebas masuk. Tujuan gue hanya satu: foto sama bule. Yang kulitnya seperti para pemeran Beverly hills 90210.  

Tiga cewe remaja lagi duduk-duduk di rumput, langsung gue samperin dan ajak foto.  Mereka terlihat kaget dan tidak nyaman. Mungkin karena AK 47 si om. Mungkin karena abang gue merokok di kompleks yang ternyata gak boleh merokok bahkan di luar ruangan. Mungkin karena mereka bukan Kelly atau Brenda tapi tiba-tiba diajak foto artis. Saat itu gue gak peduli. Gue bangga bisa foto sama bule.  

Saat ini gue tidak lagi menteror bule random untuk foto bareng. Sudah tahu kalau itu namanya inferior complex, warisan mental jajahan beratus-ratus tahun yang membuat nenek moyang gue dan gue selalu menganggap yang dari Barat itu lebih baik.  

Sudah tahu kalau Marlboro gak laku di Amerika. Sudah tahu kalau bule itu beragam negaranya. Sudah tahu kalau AK 47 itu bikin Rusia kaya. Sudah tahu kalau kompleks berpagar duri itu bisa rumahnya bagus-bagus karena menjual kekayaan alam Papua. Sudah tahu kalau gerakan pengacau keamanan sebenarnya cuma ingin merdeka. Sudah tahu kalau Sembat itu mungkin sebutan lidah-lidah  "jawa" yang gak bisa bilang swim bath. Sedikit menyesal kenapa dulu tidak pernah melewati hutan warna warninya.  

"Kenapa kita bisa inferior gini ya?" tanyanya di tengah-tengah taksi di kemacetan ibukota pulang kantor.  

"Mungkin kelamaan dijajah kalik ya," jawab gue.  

Dia kembali melanjutkan membaca buku tentang  Cina dengan sisa-sisa matahari Jakarta. Bagaimana Cina pada masa Mao banyak sekali menggunakan kata 'people' dan sekarang tidak lagi.  

Gue kembali membaca buku tentang Jepang. Bagaimana masyarakat Jepang di tahun 1850 merasa semua yang barat itu lebih baik tapi kemudian mereka invest besar-besaran di pendidikan yang melahirkan orang-orang seperti Okakura yang menulis betapa budaya Jepang itu bukan inferior, hanya beda.  

Bahkan seorang Roland Barthez pun akhirnya ikutan menulis buku yang membuka mata orang Jepang sendiri betapa menariknya budaya mereka.  

"Ada gak ya yang bakal nulis buku tentang Indonesia?" tanyanya.  

"Kita, mungkin?" jawab gue.   Disambut dengan tawa. Dilanjutkan pembicaraan tentang seorang muridnya yang saat ini membuat novel tentang Jepang.  Dia bersyukur muridnya sudah jadi published writer.  

Gue kembali melihat ke luar jendela. Jakarta masih merayap. Mobil buatan Jepang Jerman dan Amerika berdesakan ingin cepat sampai tujuan.  Argo sudah di atas 70 ribu. Jalan layang baru ini sepertinya hanya menambah kemacetan.  

Gue menghela nafas, berusaha mencari bangga yang tidak sekedar pakai batik hari Jumat.

Semoga nanti ada.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar