Tiba-tiba satu jam sudah berlalu. Sudah waktunya pulang.
Gue kembali dari alam khayalan gua, ke gereja yang sudah gue datangi sejak pindah ke Bandung. Sebenarnya gue bukan terdaftar anggota gereja sini. Hanya Mak gue lagi gak suka ama gereja sana jadi gue pun ikut hijrah.
"Apa itu gereja?" tanya salah satu jemaat dalam gaya MC. Ternyata ada acara tambahan menyambut sebentar lagi gereja mereka genap 100 tahun.
"Gereja bukanlah gedungnya dan bukan pula menaranya. Bukalah pintunya lihat di dalamnya, gereja adalah orangnya."
Gue dong?
Tapi gue bukan anggota.
Berbeda dengan mesjid yang bisa di mana aja, semakin jauh semakin berpahala, di gereja lebih dianjurkan jadi anggota. Karena gereja gak cukup hari minggu dengerin khotbah. Ada interaksi anggota sepanjang minggu untuk membuat ikatan persaudaraan.
Interaksi persaudaraan ini membuat mak gue tersinggung dan gak lagi ke gereja sana.
Buat Mak gue, gereja tempat untuk didengar. Untung-untung dapat suara di Pemilu depan.
Buat papi, gereja adalah kebiasaan yang gak boleh dipertanyakan. Walaupun dia memilih bobo daripada mendengar khotbah pendeta yang menganjurkan kebencian.
Buat gue, gue gereja buat nemenin Papi.
Dulu ada masa di mana gue merasa ini rumah gue. Saat itu gue mengira hanya Orang Kristen Protestan yang masuk surga.
Sekarang tidak.
Tapi Alkitab semakin menarik dibaca justru ketika gak lagi untuk dikagumi dan dianggap suci. Karakter-karakternya busuk tapi tetap disayang Tuhan. Ada yang pemabuk. Ada yang pencuri istri orang. Ada yang pengecut. Ada yang sex addict. Ada yang membawa pedang dan tetap dianggap Tuhan.
Dulu dia hidup di negara jajahan sebagai anak middle class yang kritis dan di umur 30 mulai memimpin Mindful Revolution. Kalau dia hidup sekarang, dia pasti jadi orang Indonesia.
Dan tetap disalib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar