Sabtu, 01 Februari 2014

Almost Famous

Wajah Kate Hudson muda mengerling nakal, mengajak gue keluar dari kota kecil bersalju di tengah Amerika Utara, menuju Los Angeles 70an yang hangat, keemasan, dan dipenuhi bintang terkenal.

Saat itu gue 17 tahun. Malam minggu malah nonton bioskop sama host parent gue yang lovely tapi tua, bukannya ke rave party atau nonton hockey seperti senior lainnya.

Bioskop di Amerika ternyata sekali bayar bisa nonton berkali-kali tanpa ada petugas menghalangi. Host Parent gue cukup berbudaya untuk langsung pulang dan tak pindah ke lain film. Si anak dunia ke tiga ini berasa rugi kalau nonton kurang dari tiga film. Mulailah bioskop menjadi tempat pelarian gue dari kehidupan sebagai exchange student kurang teman.

Sembilan tahun kemudian, bioskop berubah menjadi sarana curhat. Kali ini bukan Kate Hudson yang memenuhi layar. Saira Jihan yang menjelma jadi Annisa memenuhi layar bersubtitle, mengucapkan kata-kata  yang gue tulis, mengajak gue keluar dari bioskop kecil di pinggir sungai Thames kembali ke kamar gue di Bandung.

Ternyata berdiri di depan bioskop menjawab pertanyaan wartawan sangat menyenangkan. Gue tidak lagi hanya bisa menatap the famous one dari kejauhan. Setelah foto gue memenuhi 2 halaman Tempo, mungkin sebentar lagi gue juga terkenal.

Kalau dia beda, dia kayanya memang cinta film. Sejak masih SD dan kurus kecil, dia bela-belain nonton ke bioskop malam-malam berbekal cutter biar ga dihadang preman Sukoharjo.

"Film kungfu kok," lapornya kepada sang Ayah. Pada saat itu film kungfu terdengar tidak berbahaya bagi Pak Ustad. Kalau saja dia tahu kelak anaknya akan menggemari wanita Cina dari agama berbeda, mungkin kungfu akan jadi genre terlarang.

Dia beda lagi. Dia tumbuh di bioskop karena ayahnya pelukis poster film bioskop. Saat ibunya melacur atau menjajakan gadis lain, dia keluar masuk bioskop dengan sesuka hati. Kadang untuk nonton film. Kadang untuk disodomi ayah.

"Nanti kalau kamu bikin film, ayah yang lukis posternya ya."

Saat itu dia merasa dicintai ayah. Tapi ketika usia 15 tahun, ayah meninggalkan dia dan ibunya, dia mulai merasa ada yang salah. Bioskop berubah menjadi tempat yang menakutkan. Baru masuk saja, dia sudah gemetaran.

Untungnya sekarang nonton film gak harus di bioskop. Sejak film-film bisa didonlot gratis dan dijinjing ke manapun bersama Galaxy Note warisan Deden, gue juga sudah tidak lagi ke bioskop. Bioskop menjadi alternatif tempat pacaran, di saat Jakarta terlalu panas untuk pelukan.

Saat ini antrian penonton bioskop tidak sepanjang antrian film yang berebut ditayangkan. Bioskop semakin sulit untuk cari makan. Dan ketenaran tidak bisa lagi dijanjikan industri yang semakin hari semakin murah ini. Film-film datang dan pergi begitu saja tanpa meninggalkan bintang.

Tapi ternyata gue tetap membuat film sambil  berharap ada keajaiban.

Mungkin sebentar lagi gue tenar.

Mungkin gue cuma ingin didengar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar