Selasa, 25 Februari 2014

Art In Jakarta

"Teh, liat deh nih," katanya dengan semangat memamerkan twitter dengan profile picture para Satpam tanpa wajah dan tanpa kolor.

"Berani berani banget sekarang...," tambahnya sementara film Selamat Pagi Malam masih di menit 48.

Sepuluh menit kemudian, dia sudah pindah ke twitter kuli-kuli yang juga tak berkolor dan tak berwajah.  Padahal tak semua orang berkesempatan menonton film masterpiece Lucky Kuswandi  yang bercerita tentang kotanya sendiri itu.

"Di Jakarta seni gak dihargain. Gue jadi patron of the art saja," kata karakter Naomi dari layar TV sementara dia mulai pindah ke twitter polisi lokal yang juga tak berkolor.

Sebelum film dimulai, gue mengira dia akan berbeda. Dia bisa bicara tentang para oscar contenders dan siapa yang akan menang menurut analisanya dengan sangat fasih, sefasih para penulis di Variety.

Gue kira dia suka nonton film. Ternyata dia lebih suka twitteran. Dan mungkin juga suka baca Variety, makanya bisa fasih tanpa perlu menonton.

Mungkin bukan salah dia. Memang filmnya yang membosankan.

"Filmnya bagus bangetttt..." katanya di akhir film sambil menjanjikan dukungan bagi film ini dari perusahaannya.

"Lo gak tersinggung?" tanya gue pada Lucky sambil beberes speaker. Kita harus keluar cepat-cepat dari ruangan ini kalau gak mau nambah 750 ribu lagi. 

"It's jakarta. What do you expect?" jawab Lucky acuh tak acuh.  Yang penting mereka mau support filmnya.

There is still art in Jakarta.  It's just hidden between the Jak and the A. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar