Sabtu, 27 Februari 2016

Me, Earl, And The Dying Girl

Greg memasang ipodnya ke proyektor kecil untuk memperlihatkan video buatannya untuk Rachel yang terbaring kanker. Sebenarnya masih jelek, tapi diputar juga oleh Greg karena kabarnya Rachel udah mau mati.

Video itu dimulai dengan Greg agak tertawa. Earl agak tertawa. Mama Rachel agak tertawa. Diikuti stop motion kasar 3 bantal yang terburai menjadi busa dan kembali menjadi bantal.

Rachel tersedak. Greg panik, mengira Rachel akan meninggal. Greg keluar memanggil suster, dokter, mama, siapapun.

Rachel tetap menonton proyeksi video buatan Greg walau terhalangi Greg. Muka Greg yang khawatir dipenuhi proyeksi video gambar-gambar entahlah yang membuat gue merasakan betapa berartinya Rachel buat Greg.

Itulah terakhir kali Greg melihat Rachel, mengira videonya begitu jelek sampai Rachel meninggal.

Itulah terkahir kali Rachel melihat Greg. What a beautiful last sight.

Gue menangis, tidak diam-diam seperti  Rachel. Gue menangis meraung-raung sambil mengigit-gigit kemeja putih yang sudah tercemar ingus.

Emosi tidak harus dibangun naratif.

Pergi Ke Pulau

Seorang teman khawatir dengan keadaan Indonesia yang semakin radikal di status Facebook-nya. Teman lain meng-comment dengan mengajak pindah ke Kanada, di mana Trudeau ikutan pawai pride.

Teman lain me-reply comment dengan antusias, menawarkan mengorganisir daftar formulir bareng-bareng.

Gue mengetik jangan Kanada karena menurut Vice gak seindah itu juga. Species Donald Trump masih memenuhi Kanada. Mending kita beli pulau.

Teman lain mengabari ada pulau di Fiji yang dijual USD 250,000 saja. Lebih murah dari kedai kopi di Kelapa Gading yang ditawar 30 M gak dilepas.

Gue mengusulkan udunan 25 orang masing-masing 1 M.

Teman lain mengusulkan udunan 100 orang masing-masing 250 juta.

Gue bilang di Indonesia ada yang mau jual pulau. Dekat Tanjung Pinang. Transportasi refugee lebih mudah.

Dua orang nge-like.

Lalu gue kembali jaga ponakan.

Kamis, 25 Februari 2016

Rakus

Dia mencomot potongan kue lapis terakhir sebelum garpu kecil gue menancap.

"Makan bagi dua ama lo emang harus dibagi dua dari awal. Kalau nggak, bisa gak kebagian," katanya sewot.

"Kan bisa mesen lagi."

"Jangan mesen lagi. Udah gondut."

Karenanya ketika waktunya makan Choco Oats, satu dia kasih ke gue, satu dia makan, dan satu disembunyikan di balik paha.

Dalam sekejap, Oats gue udah habis. Gue melirik-lirik pahanya, mencari Oats yang belum dibuka.

Dia membuka Oats terakhir, tapi gak dibagi. Gue cuma bisa melirik sambil pasang mata paling kasihan.

"Segigit ya," katanya menawarkan Oats. Jarinya membuat batas suci menghalangi gigi gue dari mengigigit seluruh oats.

Hap.

Gigit jari.

Isolated & Helpless

Gue bangun di lantai sebelas, menghadap jendela berlukiskan Jakarta mendung. Isolated and helpless mencari-cari matahari yang tertutup entah kabut entah polusi.

Atau isolated and helpless ini karena efek neo liberalisme seperti kata Noam Chomsky di link Facebook seseorang?     Doi bilang krisis ekonomi tahun 30an lebih menderita, tapi tidak semenakutkan sekarang karena dulu masyarakat berjuangnya bersama-sama.

Sekarang hanya buruh yang berjuang setelah terlalu menderita. Kelas menengah yang tidak lagi merasa kelas pekerja, ikut mengomel mengutuki demo buruh yang kita sangka penyebab ekonomi kita semakin terpuruk.

Bukan mereka yang menggaji kita.

Kita takut kehilangan kemapanan ini. Padahal hidup kita gak enak-enak amat.  Semua kebahagiaan akhir pekan kita tergantung belas gaji para tuan.  Kita menyia-nyiakan usia produktif kita untuk membuat perusahaan mereka semakin kaya dengan imbalan baju, mobil, gadget, dan ngopi yang  membuat kita mengira kita semakin sejahtera dan merdeka.

Lalu kita tua dan menyadari hidup  dihabiskan tanpa berkarya.  Kita menghibur diri dengan mengatakan semua kerja keras kita kan demi anak kita. Padahal mereka gak mau jadi kaya kita.

Fear, a broken society, and no strong labour movement. That is what we have made of our so called modern life.

Apalah artinya a broken society. Apalah gunanya a strong labour movement.

Gue dilahirkan udah di zaman ini, di mana strong society cuma dipelajari di pelajaran PMP tapi gak pernah dirasakan manfaatnya. Di zaman ketika Michael Jackson - Beat It sedang merajai musik Bandung. Flashdance lebih digemari dari pendongeng-pendongeng lokal. Dan G30S/PKI di-release biar generasi gue gak pernah lupa sejarah.

Tak heran generasi gue galau, mengira yang sukses itu yang besar, yang kaya, yang global. Mbak-mbak under 30 yang jualan pakaian dipuja karena masuk Forbes tanpa peduli buruhnya digaji berapa. Atau CEO yang lebih peduli font bagus daripada umur pekerja pabriknya di Cina dijadikan panutan karya laku dijual.

Jual. Jual. Jual.

Beli. Beli. Beli.

Apalah artinya a broken society. Apalah gunanya a strong labour movement. Lebih baik isolated dan helpless daripada bergabung dengan mereka para pembenci homo dan pemilik surga.

Terdiam sebentar. Sepertinya gue marah.

Marah karena takut. Benci karena marah.

Jangan-jangan kebencian gue sendirilah penyebab gue isolated and helpless.

I don't have to think like this.

Selasa, 23 Februari 2016

SMS Papi

Tuhan, kuserahkan kekerasan hati ku yg membuatku hidup semauku pd jln buntu, dan hikmat-MU saja yg menjagaku tetap berada dijln yg menuju pd semua yg baik dan berbuah. Amin.

Hosea 14:10
"...sebab jalan2 Tuhan adalah lurus, dan org benar menempuhnya."

Syaloom... Mintalah petunjuk kpd Allah, krn DIA yg mengetahui jalannya... Haleluya, Amen.TYM.

SMS Papi di pagi hari membangunkan gue. Entah ini SMS khusus untuk gue yang menurut Papi kurang baik dan berbuah, atau sekedar memanfaatkan  XL 4G LTE lagi banyak gratisan SMS.

Apa yang dimaksud jalan Tuhan oleh Papi? Besok Papi mau ketemu orang di Departemen Kehutanan biar HGU temannya yang mau bangun kompleks penambangan minyak di tanah yang sekarang hutan dilancarkan. Kalau ini menuju pada yang baik dan berbuah, mungkin Papi akan menganggap ini jalan Tuhan.

Tentunya baik dan berbuah versi Papi.

Apa yang dimaksud Jalan Tuhan oleh Hosea? Tuhan di Kitab Hosea super sensi karena Kerajaan Utara menyembah Tuhan lain. Dia menghukum mereka ke pembuangan. Nanti Kerajaan Selatan juga dibuang, meninggalkan Israel menjadi tanah orang lain. 

Apakah hidup Hosea berakhir baik dan berbuah? Kalau tidak, apakah dia bisa kita sebut tidak di jalan Tuhan?

Dan banyak pertanyaan lain yang gak bisa gue diskusikan dengan Papi.

Andai saja Papi meng-SMS ngajakin makan, akan lebih banyak yang bisa kami bicarakan.

Banyak Cara Bercerita

Dia datang naik taksi melintasi bypass dari Kemang menuju Kelapa Gading sore hari. Ada yang genting katanya.

"Gak cuma lesbi-lesbi kabupaten yang diintimidasi. Yang sekitar kita juga," katanya.

Dua teman kami didatangi kepala warga dan polisi untuk menandatangani surat pernyataan kalau mereka cuma teman yang kebetulan tinggal bersama dan tiap sore jalan-jalan berdua keliling kompleks bawa anjing. Mereka langsung pindah ke Kalibata City, tinggal di antara para pendosa yang tak gemar menghakimi.

Badan mata-mata negara pun sudah meminta semua NGO yang biasanya mendukung kegiatan LGBT  berhenti mendanai.

"Kalau kita bikin video-video mengharubiru ala iklan-iklan Thailand gitu ngaruh gak ya?"

"Bisa juga yang biasa-biasa aja, gak usah mengharubiru. Kaya film Yasmin Ahmad... atau Brooklyn. Atau kaya Yesus, mau nyeritainnya apa tapi ngomonginnya biji sesawi."

"Right. Fable is an option."

"Asal gak ngomongin LGBT doang sih... biar yang lain juga ngerasa involved."

Terlalu banyak yang menderita di negara ini. We do not want to sound like the elitist whiny spoiled brats who cares only about MY misery.

"Jadi angle-nya anti kekerasan ya," katanya menyimpulkan.

Dia kembali ke kehidupan sibuknya menjadi editor sebuah platform new media dan sutradara. Sementara gue kembali ngejagain ponakan-ponakan gue sambil membacakan mereka cerita Nina Bobo tentang neoliberalisme yang membuat banyak petani kehilangan tanah  sementara mamak mereka bekerja memperkaya Citigroup.

"Brrrrrrrt," kata si Shema menggetarkan bibirnya.

Mungkin Shema bosan. Gak ngerti juga gue bahasa bayi-bayi ini.

Gue lanjutkan membaca cerita kenapa negara-negara kaya gemar menanam makanan di negara miskin dan negara miskin dengan senang hati memberikan lahannya asal dikasih hutang buat  bangun kereta cepat dan jembatan.

"Brrrt."

Ganti cerita tentang reklamasi Teluk Jakarta.

"Brrrt."

"Kalau mau cerita harus pakai gaya dan intonasi, gak boleh datar," kata mamaknya.

Gue mulai mengangkat tangan dan berjingkrak ala monster, menceritakan sejuta hektar tanah di Merauke yang ditanami kelapa sawit dan tebu tanpa peduli nasib penduduk asli.

Shema mulai mendengarkan.

Mungkin bercerita memang harus ala monster.

Minggu, 21 Februari 2016

Membersihkan Minyak

Setengah botol besar minyak kelapa sawit gue tuang ke penggorengan  untuk menggoreng selusin tahu putih. Gak bisa kurang, karena badan tahu harus terendam semua. Setelah selesai, gue coba masukkan ke tempat minyak biar bisa dipakai lagi, malah melimpah keluar. Tambah satu tempat minyak. Masih meleber memenuhi table top.

Sebanyak ini minyak hanya untuk selusin tahu.

Gue tangkupkan handuk kaki agar minyak gak menetes ke bawah table top. Gue gosok table top dengan berlembar-lembar paper towel. Disusul dengan berbusa-busa sabun. Dan berkali-kali bilasan air.

Masih terasa licin di tangan.

Gosok lagi.

Begini susah membersihkan minyak dari table top dan wajan. Bayangkan membersihkan minyak dari dinding usus dan terowongan darah.

Belum lagi membayangkan bagaimana minyak ini dibuat. Berapa hutan ditebang. Berapa si amang terbakar. Berapa bayi tersedak asap.

Kenapa minyak kelapa sawit masih dibiarkan?

"As long as 20 percent of the population keep snorting that shit, it's better if we keep it in order," kata seorang agen CIA memberi pembenaran kenapa CIA malah terlibat mengatur perdagangan obat terlarang.

Memang bukan minyak kelapa sawit, tapi logikanya sama.

Selama masih ada orang yang menggoreng pake minyak kelapa sawit,  produksi minyak kelapa sawit akan terus berjalan. Legal ataupun tidak.

Waktunya untuk tidak lagi menggoreng.

Sabtu, 20 Februari 2016

Berbagi

Menulis tentang berbagi di apartemen lantai sebelas yang ditinggali sendiri membuat gue merasa seperti mencari cabe di ladang jagung. Makanya mungkin sudah Februari, gue belum juga suka draft ini.

Suatu waktu dulu, pernah gue gemar berbagi. Waktu itu gue baru baca cerita soal seorang biksu yang memberikan hadiahnya buat biksu lain yang menurut dia lebih pantas menerima.  Biksu lain itu malah memberikan hadiah itu pada biksu lain yang lebih pantas. Akhirnya hadiah itu terus dioper sampai akhirnya kembali lagi ke biksu pertama. Si Biksu pertama menikmati hadiahnya dengan bahagia setelah tercipta sebuah circle of joy yang menyentuh semua biksu.

Saat gue muda, gak punya tanggungan, dan gaji dollar datang tiap bulan, berbagi memang lebih membahagiakan. Setelah lima tahun membangun perusahaan sendiri dan belum juga financially stable, berbagi jadi begitu menyeramkan.

Bagaimana kalau nanti gue kekurangan?

Dulu gue percaya gue gak akan kekurangan. Dan gue gak pernah kekurangan.

Setelah gue merasakan hidup dengan yakin gue pasti dicukupkan, sekarang kok bisa gue ketakutan kekurangan?

Mungkin gue kurang beriman. Mungkin gue lebih berpengalaman. Mungkin dulu gue hanya delusional.

Mungkin itu yang harus gue tulis. Tentang orang yang dulu gemar berbagi, sekarang ketakutan kekurangan dan hidup sendirian.

Jumat, 19 Februari 2016

Zootopia

Seekor kelinci ingin jadi polisi walaupun Mama Papa menyuruhnya menjadi petani seperti 250 saudaranya. Seekor rubah ingin jadi pramuka walaupun semua mamalia bilang rubah cocoknya jadi penipu. Seekor domba ingin jadi walikota walaupun warga lebih memilih dipimpin singa.

Lewat cerita sederhana soal kelinci pengen jadi polisi, Zootopia bisa ngomong soal rasisme dan prejudice tanpa menuding. Bahkan gue bisa bersimpati pada si antagonis.

Gue cuma pengen bikin film dengan cerita sederhana kaya gini. Tapi skenarionya ditulis dengan baik, tanpa ada elemen gimmick yang gak membangun cerita. Karakternya menarik dan bisa mengingatkan gue sama orang-orang sekitar. Endingnya memberi harapan kalau kita bisa jadi apapun tanpa sok bijaksana.

Tulisan gue endingnya pasti lebih dark sih. Bukan "from zero to hero". 

Bukan juga "from zero to zero".

"From zero to zero but somehow it's enough" sepertinya sudah menjadi impian hati ini ketika mengetik. Gue menulis untuk memberi diri gue harapan.

Gak bisa ya satu draft langsung kaya Zootopia?

Buat orang kebanyakan mau kaya lo? Nggak deh. Harus berulang-ulang biar semua kecentilan dan kesokbijaksanaan hilang dari permukaan jadi kita bisa menyelam lebih dalam.

Cus menyelam.

Kamis, 18 Februari 2016

Demi Apa?

"Muka lo kok gitu sih?" tanyanya.

"Muka gue gimana?"

"Kaya mau bilang nih orang banyak banget sih maunya."

"Emang banyak maunya. Hari ini aja udah ada tiga cita-cita. Bingung gua mau bantuin yang mana."

"Gue jadi merasa dilecehkan."

Mungkin dia tidak perlu bantuan. Mungkin dia hanya perlu didengarkan. Mimpinya tidak perlu diwujudkan.

Tidak semua orang ingin hidup seperti gua. Demi mimpi dan cita-cita. Ada yang lebih mengutamakan keluarga. Ada yang lebih mengutamakan mobil. Ada yang gak tahu maunya apa.

Semuanya berakhir sama.

Sia-sia.

Apalah manfaat menghakimi. Hanya menambah penat di hidup yang sekejap di  antara gelombang-gelombang Black Hole ini.

"Besok mau nonton apa?"

Rabu, 17 Februari 2016

Semalam Setelah TV One

"Tadi malam mami nonton TV One, bahas LGBT. Ada dokter yang bilang Atid begini karena ada kepahitan ya?" tanya Mak Gondut di suatu pagi menunggu travel ke Jakarta.

"Lah mami nyari info kok dari TV One?" jawab gue sebel. Padahal sering kali Mak gue kasih link dari badan resmi atau orang-orang yang lebih kompeten. Gak dia dengerin.

"Lesbi genetis tauk, Mi," tambah gue biar Mak sebel. Dikasih info yang bener gak didenger, sekalian aja gue sesatkan.

Mak Gondut becut.

Lalu travel datang dan Mak Gondut pindah sasaran repetan. Kali ini mas-mas di belakang kursinya yang masang musik tanpa earphone.

Gue membuka laptop, tidak mendengarkan repetan Mak Gondut. Dua hari yang lalu, seorang teman yang Muslim taat mengaku kalau dia gay dan seringkali mau bunuh diri tapi gak bisa bunuh diri karena Mamanya sakit keras. Yang gue pikirkan hanya memberikan film-film dokumenter tentang gay-gay Muslim agar dia dan mamanya tahu dia gak sendirian.

"Dari kecil cuma Atid yang gak pernah bikin mami repot. Gak pernah jatuh. Gak pernah rewel. Sekarang cuma Atid yang jadi pikiran mami tiap hari...," sambung Mak Gondut di dalam mobil setelah kami sampai di Jakarta.

"Ya itu pilihan mami. Hidup singkat kok mikirinnya yang jelek-jelek. Orang Atid seneng-seneng aja...," jawab gue cuek sambil terus menyetir.

"Ya sekaranglah mami kasi tau sama Atid. Mami gak papa kalau Atid gak kawin. Tapi janganlah jadi lesbi."

"Emang kata TV One lesbi itu pilihan ya?"

"Eh itu ada kucing," kata Papi menunjuk seekor kucing yang melahap nikmat tulang ikan di jalan, gak peduli mobil kami mendekat.

Seorang mas-mas pinggir jalan menghus-hus si Kucing, barulah dia pergi dengan tetap menggondol tulang ikan kebahagiaannya.

"Mami nanti mau refleksi nggak?" tanya gue.

"Ih maulah. Telepon sekaranglah."

"Ntarlah. Atid masih nyetir."

Selasa, 16 Februari 2016

Sabar

"Kalau saya sabar, neng sabar, akhirnya ketemu...," kata si bapak penjaga toko gordyn sambil tersenyum dengan mata menghilang.

Senyum inilah yang membuat gue memilih toko ini dari sekian banyaknya toko gordyn sepanjang jalan ABC. Padahal gordyn-gordyn yang dipajang di toko ini tidak lebih menarik dari toko sebelah. Tapi toko sebelah dijaga mas-mas bermata malas.

"Ini mau, Neng?" kata si Bapak menawarkan buku kumpulan kain gordyn ke sekian.

"Yang ini terlalu mengkilat,Pak."

Si Bapak pergi lagi. Sebentar kembali lagi dengan buku lain.

"Kalau ini, Neng?"

"Motifnya terlalu ramai. Kaya buat Ibu-Ibu. Yang anak muda dong, Pak."

Si Bapak sepertinya tidak mengerti apa yang gue maksud motif anak muda. Tapi dia  terus mencari.

"Saya makan dulu di kedai depan ya, Pak. Ntar saya balik lagi."

Setelah roti coklat dan kopi susu gue selesai dilahap, gue kembali menyebrang jalan. Tidak sedikit pun berpikir pindah toko. Bahkan ketika disambut tumpukan buku kain yang masih saja bermotif emak-emak. Si Bapak terus menerus menyuguhkan buku lain diiringi senyum mata hilang.

"Nah ini aja, Pak," kata gue melihat si kaen gordyn black out berwarna hijau kepompong di antara tumpukan motif meliuk-liuk.

"Kalau saya sabar, neng sabar, akhirnya ketemu...," kata si bapak penjaga toko gordyn.

Gue pulang dengan sedikit heran, kok gue bisa sabar. Mungkin sabar akan lebih mudah jika berhadapan dengan bapak-bapak bermata tersenyum.

Tapi kok dia bisa sabar?

Senin, 15 Februari 2016

Errand Day

Hari ini mau pas foto buat visa Australia dan daftar BPJS.

Abis itu mau beli gordyn di toko gordyn rekomendasi Mama Hipster.

Copy data short films dan materi project Prung ke HD yang bisa dibaca Macbook mumpung ada laptop Indri.

Lalu nandatangan semua surat-surat pajak yang entah gunanya apa aja. Indri mencoba menjelaskan satu per satu, disambut anggukan gue sok mengerti yang penting Indri cepat berlalu.

Ajak mami ke XL buat ganti nama biar nomor gue atas nama gue. Jangan lupa upgrade ke 4G dan naikin kredit limit.

Pasang pigura-pigura.

Beli gembok dan rantai biar si Nur gak ketakutan kalau ditinggal di rumah sendirian.

Lalu potong rambut.

"Kau kayak abang-abang," raung Mak Gondut saat gue pulang.

Gue langsung naik ke kamar, ganti baju, cuci kaki, nonton Netflix. Ada film dokumenter tentang Swami Yogananda, guru spiritual yang terpanggil melayani di bukit suci yang paling jauh dari godaan duniawi... Hollywood.

Bah.

Kunci kedamaiannya di tengah-tengah hingar bingar Hollywood hanya satu, self realization. Semua dimulai dari lebih menyadari apa yang terjadi di dalam tubuh dan pikiran kita setiap saat.

"Only those who have reformed themselves can reform others," kata narator diiringi gambar-gambar Gandhi dan Martin Luther King.

Gue pun tidur. Besok harus antri bikin BPJS.



Minggu, 14 Februari 2016

A Copy Of My Mind

"Kok kayak gini bisa menang?" tanya Mak Gondut risih, mengganggu gue yang sedang menikmati indahnya momen pertama kali si mbak-mbak facial bisa bahagia di film ini. Dia menikmati bibir dan dada si abang pembuat subtitle, merasakan nikmatnya dimasuki berkali-kali setelah selama ini kebahagiaannya hanya nonton DVD bajakan.

"Mami berisik deh," jawab gue, agak menyesal mengajak Mak Gondut nonton A Copy Of My Mind.

Tapi begitu The Artalita muncul, Mak jadi lebih menikmati karena cerita-cerita ini lebih biasa dia tonton di televisi. Mak gak risih dengan pemandangan manusia-manusia serakah memperjualbelikan hutan Indonesia demi rumah istri ke duanya. Mak lebih risih dengan adegan cinta dua anak manusia yang gak kebagian kebahagiaan lain selain bercinta dan nonton DVD bajakan.

Itu pun diambil dari Sari.  Alek tidak pernah kembali sampai akhir film.

"Group Mamah-Mamah gak ada yang suka. Kecuali Dini," lapor seorang teman yang nonton bareng di bagian Bandung lain.

Gue sedih walaupun seharusnya tidak. Gue merasa film ini bisa menyentuh sisi belas kasihan kita untuk lebih peduli pada mbak-mbak yang biasa melayani kita, yang gak ngerti politik, tapi harus membayar paling mahal. Tapi sepertinya belas kasihan itu  terhalang hanya karena si mbak bersenggama sebelum bapak-bapak pemuka agama bilang boleh.

Gue keluar dari bioskop, disambut poster-poster film lain yang minta ditonton dan bau popcorn yang minta dibeli. Semua yang gak mungkin dibeli Sari bisa gue bayar tanpa nabung panjang.

Di akhir film,  Sari tidak lagi bahagia nonton DVD bajakan di kosan sempit. Di kepalanya hanya ada Alek.

Sari pergi ke atas balkon,  memutar ulang  sebuah memori di kepalanya. Sebuah memori di mana dia dipeluk dengan lembut dan cahaya sore backlight menghangatkan mereka.  Memori yang akan dia putar terus menerus untuk  melupakan kenyataan Alek sudah gak ada lagi.

Sementara hutan kita tetap diperjualbelikan. Pedagangnya tetap melambai dengan dagu terangkat penuh martabat. Dan gue bisa nonton film apa aja dan facial kapan aja.

Joko Anwar berdiri di lobby, melayani foto bareng dan menjawab berbagai versi pertanyaan kenapa endingnya begitu dengan muncung parbadanya.

Di balik muncung parbada dan tweet nyinyirnya, hanya sutradara berhati lembutlah yang peduli dan membuat gue peduli sama seorang mbak-mbak penonton DVD bajakan. He is indeed the best director in Indonesia today.

Tumben gue setuju ama FFI.

Sabtu, 13 Februari 2016

Dear Yuni

"LGBT jangan dimusuhi. Sebaiknya kita bimbing pelan-pelan agar hatinya terbuka dan mau sembuh," kata Yuni di whatsapp Group Arsitek ITB 2001.

Gue berpikir sejenak antara:

a. jawaban scientific, memberikan link resmi dari badan kesehatan internasional yang menyatakan homoseksualitas bukan penyakit.

b. jawaban personal, menjelaskan perasaan gue bagaimana sedihnya hidup menjadi lesbi di tengah-tengah masyarakat yang ignorant tapi gemar ngebully.

c. leave group.

Tapi kalau Yuni mau, Yuni bisa tinggal google. Apapun yang gue katakan, Yuni akan tetap bertahan dengan kebenaran kata agamanya dan gue dengan kebenaran gue.

Mungkin the strongest statement is no statement at all.

Sammaria left the group.

"Atid, aku minta maaf ya kalau kau tersinggung. Aku post gambar-gambar tadi itu buat Muslim yang mau mendengarkan. Bukan buat kau."

"Gak papa kalik, Yun. Kalau gue gak suka satu group ya gue leave aja. Gue cari group lain yang bisa nerima gue. Gak berarti gue benci ama lo."

Gak mungkinlah gue benci ama Yuni. Yuni yang begitu baik. Yuni yang dengan tanpa pamrih memesan makanan, mencatat adegan, dan me-load data selama shooting cin(T)a yang sengsara. Yuni yang selalu peduli sesama, yang dengan lembut membersihkan Andik dari cat merah yang membakar kulit tapi tetap gue catkan ke kulit Andik cuma biar acara wisudaan kita keren.

Yuni baik sekali. Hanya saja agamanya mengatakan pada Yuni kalau LGBT itu najis dan harus disembuhkan. Dan Yuni dan keluarganya terlalu taat untuk membiarkan kemungkinan tafsir lain merasuki pikirannya.

Gue teringat suatu sore yang gak pernah gue lupakan. Adik Yuni resah melihat seekor anjing kurap kelaparan. Dia tergerak oleh belas kasihan dan membelikan baso buat si anjing.

Satu baso digulirkannya jauh-jauh, tapi si anjing gak ngeh. Si adik mendorong baso lebih dekat ke si anjing. Si anjing mendekat, si adik langsung melompat menjauh.

Kata agamanya anjing najis, gak boleh disentuh.

Lalu takut-takut, dia kembali lagi mendekat menggulirkan baso berikutnya. Anjing mendekat, dia lompat lagi.

Kalau Yuni sekeluarga bisa punya kasih sayang ama seorang anjing kurap najis kelaparan, apalagi sama lesbian seksi yang harus disembuhkan.

Saat ini Yuni mungkin masih bingung antara titah agamanya dan belas kasihan di hatinya. Mungkin suatu hari Yuni akan memutuskan belas kasihan di hatinya hanya bisikan setan yang tidak perlu didengarkan.

Tapi nanti kalau belas kasihan di hati Yuni memang melawan kata-kata bapak-bapak pembawa kebenaran di pengajiannya, dan suatu hari Yuni memutuskan untuk ngebeliin gue baso, gue hanya berharap Yuni ingat satu hal.

Gue gak makan daging.  Mending beliin Terong Raos di Pandan Wangi jalan Patuha.

Raos pisan.

Jumat, 12 Februari 2016

Emosi

"Matanya tidak terasa kalau dia merasa awkward, tak di tempat dia seharusnya. Terlalu pretentious."

Gue memperhatikan hasil editan gue. Sebenarnya gue juga merasa demikian. Hanya saja gue sudah terlalu terbiasa dengan acting mediocre, jadi tidak lagi kritis dengan performance.

"Dan coba olah lagi gaya visual menjelang akhir, biar penonton selalu disuguhkan visual baru. Gak begitu-begitu terus sepanjang film."

Sebenernya gue juga merasa demikian. Hanya saja gue sudah terlalu terbiasa dengan editing mediocre, jadi tidak kritis lagi dengan bahasa visual.

Gue menyetir di tengah hujan Bandung sepulang dari rumah dia. Apakah gue memang merasa demikian? Atau gue cuma ingin menyenangkan dia? Me and my parent issue yang selalu haus approval orang tua.

Emang kurang kritis deh. Paduan terlalu cepat puas dan malas.

Art is emotion. By the end of the day, yang harus gue tanyakan ke diri gue sepanjang ngedit hanya satu.

Do I care?

Kamis, 11 Februari 2016

Back To Where I Started

What am I doing here?

Another shot, another action, another cut, another 'it's a wrap'.

So many laughters. So many yelling. So much garbage.

Another award. Another success story. Another film I do not care about.

So many things to tell. Better tell it to myself first.

Why am I here?

Rabu, 10 Februari 2016

Anak Sapi

Penyebab global warming terbesar ternyata bukan bahan bakar fosil, tapi peternakan sapi. Bayangkan berapa banyak hutan harus ditebang untuk jadi padang rumput. Berapa banyak air buat ngasih minum sapi bertahun-tahun sebelum dipotong. Berapa banyak ladang soya buat ngasih makan sapi sampai gede. Berapa banyak gas berbahaya dihasilkan tai sapi. Dan banyak limbah peternakan sapi lainnya yang menjauhkan Bumi dari kehidupan yang logis.

Gue udah tujuh tahun sih gak makan daging sapi. Tapi ternyata gak makan daging aja gak cukup. Ketika gue makan semua produk peternakan sapi, gue sudah turut mendukung transformasi bumi menjadi peternakan sapi.

Susu. Coklat. Keju. Milkshake. Kafe Latte. Cappuccino. Mochachino. Roti. Teh tarik. Pizza. Dan sederet produk turunan sapi yang lezatnya tak terkira dan seharusnya tidak lagi gue makan kalau gue mau menjadi manusia yang lebih sadar lingkungan.

"Cow's milk is baby cow's growth food. It's used to grow a baby cow into a 400 pound cow. Look at yourself in the mirror. Are you a baby cow?"

Udah mirip sih.

Memang harusnya gue gak makan susu sapi.

Termasuk pulut mangga berlumur susu ini.

Dan roti maryam yang disirami susu kental manis.

Mulai besok pagi deh.

"Neng, mau kopi?" tanya si Bibi.

Gue mengangguk.

"Kopi item atau mocchachino?"

"Moccachino..."

Memanglah aku si anak sapi.

Selasa, 09 Februari 2016

Asin

Akibat keasikan ngedit, gak sadar jendela terbuka, angin dan hujan bersekutu menusuk lengan tak berbaju, gue jatuh plu.

Hachim.

Gue merapat minta dielus, dalam angan-angan.

"Pasti bibir lo asin," katanya. "Lo kan kalau buang ingus kena-kena bibir."

"Hah? Kok lo gak pernah bilang?"

"Bilang kok. Kan gue ajarin buang ingus gimana biar gak kena bibir."

"Lo gak jiji?"

"Lo tuh yang jiji'an."

Crot.

*tutup jalur ingus ke bibir

Biar dia gak keasinan.

Senin, 08 Februari 2016

Karmic Debt 13

Menurut Madam Sally, berdasarkan apps numerologi di tabs-nya,  tahun ini waktunya gue  fokus ke keluarga. Kalau diikutin, hidup gue lebih bahagia. Kalau dilawan, akan lebih frustasi.

Chica baru melahirkan anak kembar. Papi dan Mami lagi banyak keluar masuk rumah sakit. Memang baiknya gue fokus ke keluarga. Kapan lagi mereka butuh gua.

Lima tahun ke depan, angka gue 13. Artinya gue akan bekerja keras dengan hasil yang no glory. Ini adalah hukuman karena di masa lalu gue suka malas atau memanfaatkan orang lain. Tapi banyak orang sukses dengan angka karma 13. Kuncinya gue harus fokus, teratur, dan menjauhi godaan jalan pintas dan nunda-nunda kerjaan.

"Lu sih ganti nama lo jadi Sammaria. Beda nama bisa beda nasib," kata Sally.

"Ya udah cobain namanya Sari Astrid Mananda Maria."

"Gak bisa 4 nama euy. Soalnya ini yg versi gratisan. Maksimal 3."

Kalau mau masukin 4 nama, harus beli apps numerologi versi full.

Yasudahlah. Gak usah pake apps juga gue udah tahu hidup gue akan penuh kerja keras mengingat film-film yang pengen gue buat.

"Tapi di akhir hidup lo angka lo 8. Artinya duit," kata Sally.

"Kaya dong gue."

"Bisa jadi banyak utang juga. Tergantung apa yang lo kerjain sekarang."

Fokus. Teratur. Kerja keras.

Minggu, 07 Februari 2016

The Girl Who Walks Without Shoes

"Yakin lo gak mau pake sepatu?" tanya gue khawatir sebelum mulai shooting. Dia akan berjalan dari depan BEC sampai simpang Purnawarman di suatu maghrib rintik-rintik. Entah berapa beling, tutup botol, dan taik akan dilewatinya.

"Gue suka kok gak pakai sepatu," jawabnya mengakhiri keraguan gua.

Dia mulai berjalan di tengah sisa-sisa hujan. Kamera mengikuti dari depan. Sampai tibalah dia di ujung jalan, di mana dia melihat The Boy Who Dances Without Shoes.

Dia menyebrang dengan mata yang terpaku pada The Boy. Tariannya begitu lambat, begitu indah, begitu menarik di antara mobil-mobil yang tergesa-gesa entah hendak ke mana.

Dia menyebrangi lautan motor parkir, lalu lautan mobil melaju. Sambil tetap menatap The Boy, dia membuka jaket merahnya di tengah jalan.

Gue mengawasi dari kejauhan, menikmati indahnya kain merah bertemu aspal basah yang memantulkan cahaya kota. Sampai emak-emak sekitar gue berteriak panik.

"Euleuh eta jaketnya dibuka!!!"

Gue lupa kita baru saja diteror Bom Sarinah.

"Ini mah buat tugas kok, Bu... Bukan teroris...," kata gue menenangkan massa yang mulai panik.

Dia tetap berjalan, tanpa bergeming menatap The Boy Who Dances Without Shoes, pelan-pelan ikut menari.

Hegar hanya diam, tidak menggerakkan kameranya memaksimalkan glide cam sewaan seperti biasa. Kami hanya mengikuti tangan dan tubuh mereka yang mengalir tanpa pernah bersentuhan.

"Indah ya, Bu," kata Hegar.

Gue mengangguk. Baru tahu gerakan tangan saja bisa begini indah.

Pantesan dulu si koreografer gak mau Dongeng Bawah Angin tariannya balet. Gerakan tangan saja bisa begini memukau.

"Kita jalan sekali lagi ya dari bawah. Kita butuh shot yang lebih close up."

Dia mengangguk.

So many great talents around me. Mungkin di Jakarta dia akan langsung ditolak karena kurang cantik.

Gue terlalu lama di Jakarta.

Sabtu, 06 Februari 2016

Cewe-Cewe Keren Itu Tak Hidup Di Bandung

Hari ini dia akan bangun pagi dan menyortir barang-barang yang hendak dibuang dalam rangka hidup sederhana yang bebas clutter. Pelastik hitam sudah dibeli sejak dua minggu yang lalu. Barang yang akan disortir sudah ditumpuk sejak dua bulan yang lalu.

Dia bangun pagi dan jempolnya menekan whatsapp,  blogger, lalu Facebook. Tahu-tahu berlanjut ke sebuah video roundtable actress komedi. Dilanjutkan roundtable actress drama. Dilanjutkan penulis. Dilanjutkan sutradara.

Lena Dunham. Amy Schumer. Gina Rodriguez. Ellis Ross. Viola Davis. Taraji P. Henson. Maggie Gylenhall. Jessica Lange. Meg Le Fauve, yang nulis Inside Out. 

Sepertinya mereka tahu mereka siapa. Mereka menceritakan kelemahan mereka dengan tertawa dan point of view no regret.

Dia ingin menjadi manusia seperti mereka. Mendengarkan, berbicara dengan attitude dan tertawa tanpa tertahan.

Tahu-tahu sudah sore. Teriakan mamaknya menyuruh mandi biar nganter ke stasiun membawanya kembali ke sini.

Ke Bandung Creative City.

Beberes besok aja deh.

Jumat, 05 Februari 2016

Lingkaran Kasihan

"Gue kasihan liat Papi. Kerjanya tiap hari SMS mumpung gratisan dan ke dokter," kata Chica.

"Mungkin Papi pun kasihan lihat kau. Kerjamu tiap hari ngurusin susu ama pupup," jawab gue.

"Mungkin Papi pun kasihan liat kau. Tiap hari nonton film. Gak kerja-kerja," balas Chica.

Gue malah kasihan sama Bang Gigit yang tiap hari harus ngantor dan macet-macetan demi memperkaya bank-bank serakah.

Lingkaran kasihan ini mungkin karena kita terlalu sibuk menilai hidup orang lain dan lupa menikmati pilihan sendiri.

Papi bahagia ke dokter karena bisa ketemu semua temannya yang juga sedang waktunya penyakitan. Chica bahagia punya anak walau harus bergelimang taik dan pompa.  Bang Gigit bahagia kerja di bank serakah karena bisa menyayangi anaknya dengan semua produk Mothercare terbaik. Gue bahagia nonton film karena kehausan gue untuk mengerti dunia yang gak bisa gue dapat dari lingkungan kecil gue terpenuhi.

Seperti nonton dokumenter tentang Iris Apfel, gue bisa melihat orang-orang yang bahagia di usia tua adalah mereka yang tahu bagaimana menghibur diri sendiri. Gak sibuk mengasihani/ menghakimi/ menilai hidup orang lain.

Bahagia itu pilihan.

I am what I am

He didn't care how much money you make. He cared what you make. He cared what he make. His product is better than himself.

She thinks you are what you wear. She enjoys dressing up and decorating rooms. She prefers to be not uniformed in black dresses all the time. 

She thought people would not want to know about her life because the only thing good she did was her music. She would trade anything just to walk down her street without cameras.

She didn't want to be a hero. She knew she was just a foot soldier .  No one would remember her name. Not even her son whom they took away since she starts to speak up. But she cannot stay silent and live in fear anymore.

I am not proud of what I make.
I do not enjoy how I look.
I do not like where I live.
I want people to know about my life even I know it was not the best I have.
I want to be a hero even if I have nothing to say.

I don't have to be like this.

Rabu, 03 Februari 2016

Bandung Creative City

"There is absolutely nothing creative about Bandung. Its 2.5 million inhabitants, like the inhabitants of all other Indonesian cities, are condemned to only three social and cultural activities: eating, family gatherings and praying.

Not one permanent concert hall now brightens the life of this former Dutch hill station turned into some sort of 'city of learning'. There are no art cinemas and not one decent museum.

There are a few parks in Bandung, but they are tiny, dirty and disconnected. There are several malls and commercial cinemas showing the lowest level pop Hollywood junk.

The rest is, as elsewhere in Indonesia, an over-commercialized and desperate urban sprawl with no planning."

Link tulisan di sebuah website yang mengaku berjuang untuk kedamaian dan keadilan sosial itu di-share di whatsapp group. Lalu muncul lagi di timeline Facebook gue dengan wanti-wanti agar warga Bandung gak langsung mengamuk.

Gue sebagai warga Bandung tidak ingin mengamuk. Artikel ini banyak benarnya.

Apa yang bisa gue lakukan di kota yang semakin dipenuhi hotel dan restoran ini? Yang pasti bukan nyela-nyela walikota atau sweeping LGBT.

Bikin concert Hall. Art cinemas showing other than Hollywood pop junk. Connected clean park. Planned and humanized urban sprawl. Banyak sekali pekerjaan.

Mungkin bisa dimulai dengan membuat film tentang kota ini.

Selasa, 02 Februari 2016

Harga Diri

"Gue tuh selalu menyangka kalau perfilman itu gak ada duitnya," katanya kaget mendengar besarnya biaya workshop film hasil CSR salah satu bioskop.

"Yang miskin itu produser filmnya, Bu. Bioskop mah kaya banget," jawab gue.

Bayangkan saja. Jika gue dapet 1 M setelah bekerja bertahun-tahun membuat satu film, bioskop juga dapet 1M. Kan share-nya fifty-fifty.

Setelah film gue turun dan gue berjuang membuat film lain, bioskop tinggal menayangkan film-film lain dan menuai M-M lainnya.

Tapi  film Hollywood berbeda, tidak share fifty-fifty. Bioskop beli putus di awal. Jadi bioskop berusaha lebih keras agar filmnya laku dan duit beli filmnya balik. Nggak sesuka hati mereka turunkan.

"Kalau begitu hasil workshop kita gak usah masuk bioskop," katanya santai, tidak ingin mendukung sistem yang tidak memikirkan dia.

Gue heran. Tidak pernah terpikirkan bagi gue untuk tidak masuk bioskop. Karena biaya bikin film terlalu besar untuk diedarkan tidak melalui bioskop. Makanya gue terima-terima aja diperlakukan sesuka hati sama bioskop.

Mungkin revolusi harus dimulai dari menghargai diri sendiri.

Senin, 01 Februari 2016

Kurang Terkenal

"Kalian tahu Ganteng-Ganteng Serigala?"

Semua murid workshop SMA itu mengangguk.

"Nah itu bukan film saya."

Semua tertawa.

"Kalian tahu Demi Ucok?"

Semua diam.

"Nah itu film saya."

Gue tertawa.

Sudah enam kali gue mengajar workshop, belum satu anak pun yang tahu film gue.

Memang kurang terkenal. Untung seksi.