"Yakin lo gak mau pake sepatu?" tanya gue khawatir sebelum mulai shooting. Dia akan berjalan dari depan BEC sampai simpang Purnawarman di suatu maghrib rintik-rintik. Entah berapa beling, tutup botol, dan taik akan dilewatinya.
"Gue suka kok gak pakai sepatu," jawabnya mengakhiri keraguan gua.
Dia mulai berjalan di tengah sisa-sisa hujan. Kamera mengikuti dari depan. Sampai tibalah dia di ujung jalan, di mana dia melihat The Boy Who Dances Without Shoes.
Dia menyebrang dengan mata yang terpaku pada The Boy. Tariannya begitu lambat, begitu indah, begitu menarik di antara mobil-mobil yang tergesa-gesa entah hendak ke mana.
Dia menyebrangi lautan motor parkir, lalu lautan mobil melaju. Sambil tetap menatap The Boy, dia membuka jaket merahnya di tengah jalan.
Gue mengawasi dari kejauhan, menikmati indahnya kain merah bertemu aspal basah yang memantulkan cahaya kota. Sampai emak-emak sekitar gue berteriak panik.
"Euleuh eta jaketnya dibuka!!!"
Gue lupa kita baru saja diteror Bom Sarinah.
"Ini mah buat tugas kok, Bu... Bukan teroris...," kata gue menenangkan massa yang mulai panik.
Dia tetap berjalan, tanpa bergeming menatap The Boy Who Dances Without Shoes, pelan-pelan ikut menari.
Hegar hanya diam, tidak menggerakkan kameranya memaksimalkan glide cam sewaan seperti biasa. Kami hanya mengikuti tangan dan tubuh mereka yang mengalir tanpa pernah bersentuhan.
"Indah ya, Bu," kata Hegar.
Gue mengangguk. Baru tahu gerakan tangan saja bisa begini indah.
Pantesan dulu si koreografer gak mau Dongeng Bawah Angin tariannya balet. Gerakan tangan saja bisa begini memukau.
"Kita jalan sekali lagi ya dari bawah. Kita butuh shot yang lebih close up."
Dia mengangguk.
So many great talents around me. Mungkin di Jakarta dia akan langsung ditolak karena kurang cantik.
Gue terlalu lama di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar