"Tadi malam mami nonton TV One, bahas LGBT. Ada dokter yang bilang Atid begini karena ada kepahitan ya?" tanya Mak Gondut di suatu pagi menunggu travel ke Jakarta.
"Lah mami nyari info kok dari TV One?" jawab gue sebel. Padahal sering kali Mak gue kasih link dari badan resmi atau orang-orang yang lebih kompeten. Gak dia dengerin.
"Lesbi genetis tauk, Mi," tambah gue biar Mak sebel. Dikasih info yang bener gak didenger, sekalian aja gue sesatkan.
Mak Gondut becut.
Lalu travel datang dan Mak Gondut pindah sasaran repetan. Kali ini mas-mas di belakang kursinya yang masang musik tanpa earphone.
Gue membuka laptop, tidak mendengarkan repetan Mak Gondut. Dua hari yang lalu, seorang teman yang Muslim taat mengaku kalau dia gay dan seringkali mau bunuh diri tapi gak bisa bunuh diri karena Mamanya sakit keras. Yang gue pikirkan hanya memberikan film-film dokumenter tentang gay-gay Muslim agar dia dan mamanya tahu dia gak sendirian.
"Dari kecil cuma Atid yang gak pernah bikin mami repot. Gak pernah jatuh. Gak pernah rewel. Sekarang cuma Atid yang jadi pikiran mami tiap hari...," sambung Mak Gondut di dalam mobil setelah kami sampai di Jakarta.
"Ya itu pilihan mami. Hidup singkat kok mikirinnya yang jelek-jelek. Orang Atid seneng-seneng aja...," jawab gue cuek sambil terus menyetir.
"Ya sekaranglah mami kasi tau sama Atid. Mami gak papa kalau Atid gak kawin. Tapi janganlah jadi lesbi."
"Emang kata TV One lesbi itu pilihan ya?"
"Eh itu ada kucing," kata Papi menunjuk seekor kucing yang melahap nikmat tulang ikan di jalan, gak peduli mobil kami mendekat.
Seorang mas-mas pinggir jalan menghus-hus si Kucing, barulah dia pergi dengan tetap menggondol tulang ikan kebahagiaannya.
"Mami nanti mau refleksi nggak?" tanya gue.
"Ih maulah. Telepon sekaranglah."
"Ntarlah. Atid masih nyetir."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar