Selasa, 23 Februari 2016

Banyak Cara Bercerita

Dia datang naik taksi melintasi bypass dari Kemang menuju Kelapa Gading sore hari. Ada yang genting katanya.

"Gak cuma lesbi-lesbi kabupaten yang diintimidasi. Yang sekitar kita juga," katanya.

Dua teman kami didatangi kepala warga dan polisi untuk menandatangani surat pernyataan kalau mereka cuma teman yang kebetulan tinggal bersama dan tiap sore jalan-jalan berdua keliling kompleks bawa anjing. Mereka langsung pindah ke Kalibata City, tinggal di antara para pendosa yang tak gemar menghakimi.

Badan mata-mata negara pun sudah meminta semua NGO yang biasanya mendukung kegiatan LGBT  berhenti mendanai.

"Kalau kita bikin video-video mengharubiru ala iklan-iklan Thailand gitu ngaruh gak ya?"

"Bisa juga yang biasa-biasa aja, gak usah mengharubiru. Kaya film Yasmin Ahmad... atau Brooklyn. Atau kaya Yesus, mau nyeritainnya apa tapi ngomonginnya biji sesawi."

"Right. Fable is an option."

"Asal gak ngomongin LGBT doang sih... biar yang lain juga ngerasa involved."

Terlalu banyak yang menderita di negara ini. We do not want to sound like the elitist whiny spoiled brats who cares only about MY misery.

"Jadi angle-nya anti kekerasan ya," katanya menyimpulkan.

Dia kembali ke kehidupan sibuknya menjadi editor sebuah platform new media dan sutradara. Sementara gue kembali ngejagain ponakan-ponakan gue sambil membacakan mereka cerita Nina Bobo tentang neoliberalisme yang membuat banyak petani kehilangan tanah  sementara mamak mereka bekerja memperkaya Citigroup.

"Brrrrrrrt," kata si Shema menggetarkan bibirnya.

Mungkin Shema bosan. Gak ngerti juga gue bahasa bayi-bayi ini.

Gue lanjutkan membaca cerita kenapa negara-negara kaya gemar menanam makanan di negara miskin dan negara miskin dengan senang hati memberikan lahannya asal dikasih hutang buat  bangun kereta cepat dan jembatan.

"Brrrt."

Ganti cerita tentang reklamasi Teluk Jakarta.

"Brrrt."

"Kalau mau cerita harus pakai gaya dan intonasi, gak boleh datar," kata mamaknya.

Gue mulai mengangkat tangan dan berjingkrak ala monster, menceritakan sejuta hektar tanah di Merauke yang ditanami kelapa sawit dan tebu tanpa peduli nasib penduduk asli.

Shema mulai mendengarkan.

Mungkin bercerita memang harus ala monster.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar