Minggu, 14 Februari 2016

A Copy Of My Mind

"Kok kayak gini bisa menang?" tanya Mak Gondut risih, mengganggu gue yang sedang menikmati indahnya momen pertama kali si mbak-mbak facial bisa bahagia di film ini. Dia menikmati bibir dan dada si abang pembuat subtitle, merasakan nikmatnya dimasuki berkali-kali setelah selama ini kebahagiaannya hanya nonton DVD bajakan.

"Mami berisik deh," jawab gue, agak menyesal mengajak Mak Gondut nonton A Copy Of My Mind.

Tapi begitu The Artalita muncul, Mak jadi lebih menikmati karena cerita-cerita ini lebih biasa dia tonton di televisi. Mak gak risih dengan pemandangan manusia-manusia serakah memperjualbelikan hutan Indonesia demi rumah istri ke duanya. Mak lebih risih dengan adegan cinta dua anak manusia yang gak kebagian kebahagiaan lain selain bercinta dan nonton DVD bajakan.

Itu pun diambil dari Sari.  Alek tidak pernah kembali sampai akhir film.

"Group Mamah-Mamah gak ada yang suka. Kecuali Dini," lapor seorang teman yang nonton bareng di bagian Bandung lain.

Gue sedih walaupun seharusnya tidak. Gue merasa film ini bisa menyentuh sisi belas kasihan kita untuk lebih peduli pada mbak-mbak yang biasa melayani kita, yang gak ngerti politik, tapi harus membayar paling mahal. Tapi sepertinya belas kasihan itu  terhalang hanya karena si mbak bersenggama sebelum bapak-bapak pemuka agama bilang boleh.

Gue keluar dari bioskop, disambut poster-poster film lain yang minta ditonton dan bau popcorn yang minta dibeli. Semua yang gak mungkin dibeli Sari bisa gue bayar tanpa nabung panjang.

Di akhir film,  Sari tidak lagi bahagia nonton DVD bajakan di kosan sempit. Di kepalanya hanya ada Alek.

Sari pergi ke atas balkon,  memutar ulang  sebuah memori di kepalanya. Sebuah memori di mana dia dipeluk dengan lembut dan cahaya sore backlight menghangatkan mereka.  Memori yang akan dia putar terus menerus untuk  melupakan kenyataan Alek sudah gak ada lagi.

Sementara hutan kita tetap diperjualbelikan. Pedagangnya tetap melambai dengan dagu terangkat penuh martabat. Dan gue bisa nonton film apa aja dan facial kapan aja.

Joko Anwar berdiri di lobby, melayani foto bareng dan menjawab berbagai versi pertanyaan kenapa endingnya begitu dengan muncung parbadanya.

Di balik muncung parbada dan tweet nyinyirnya, hanya sutradara berhati lembutlah yang peduli dan membuat gue peduli sama seorang mbak-mbak penonton DVD bajakan. He is indeed the best director in Indonesia today.

Tumben gue setuju ama FFI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar