Bapak-bapak pembuat lampu berkumpul. Produk mereka terlalu bagus, gak rusak-rusak. Mereka harus sepakat bikin lampu gak boleh tahan lebih dari seribu jam biar mereka bisa terus jualan. Kalau ada yang melanggar, didenda.
Gak cuma lampu. Printer. TV. Ipod. Semua dirancang rusak sebelum waktunya dan berakhir jadi sampah elektronik yang gak bisa dibuang sembarangan ke sungai depan. Untungnya di Indonesia banyak teknisi lihai yang bisa mengakali sampah elektronik ini untuk dijual ke masyarakatnya yang gak mampu beli baru.
Tapi di negara yang GDP rakyatnya Euro 2500 per bulan? Rempong deh dibener-benerin. Mending lempar biru - lempar trus beli baru.
Dilempar ke mana?
Lempar ke dunia ke tiga yang tanahnya luas, orangnya miskin, kelas menengahnya doyan belanja, dan pemerintahnya dengan senang hati menyambut sampah asal dikasih pinjaman bikin kereta cepat dan jembatan dan pelabuhan yang kita gak butuh-butuh amat.
Tapi gue punya pilihan.
Mau ikutan lempar biru, butuh lebih banyak uang, kepaksa bekerja di tempat yang gue gak suka, belanja lagi, lalu tahu-tahu tua menyesal karena gak pernah ngerjain panggilan ekor kita? Nyalahin Tuhan seakan-akan kita gak punya pilihan.
Atau hidup sederhana, gak gonta ganti barang, gak butuh banyak uang, bisa memilih kerjaan yang gue suka tanpa didikte uang, dan hidup dengan ekor bergoyang-goyang?
Kibas ekor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar