"Ya nggak usah bentak-bentak deh, Pi," balas gue sewot.
Cuma karena salah milih jalan keluar, yang ini ditutup, harusnya yang sana, gue dibentak seakan anak paling bodo sedunia.
"Siapa yang bentak-bentak? Memang sama aja kau sama mamimu," bentak Papi.
Di malam tahun baru kemaren Mami memang protes pada Papi yang dia anggap selalu membentak. Papi diam saja, tapi dari mukanya jelas dia tidak pernah merasa membentak.
"Abang kan memang budeg. Suka gak nyadar kalau ngebentak," kata Mami sok ngeledek Papi, berusaha mencairkan suasana.
"Ah memang gak tahu adat aja anak ini!" jawab Papi.
Gue langsung menekan gas sekuat tenaga, menyerudug ganas berbagai mobil Kelapa Gading, membelok ke kiri tanpa kedap-kedip, mengetes batas pacu jantung Papi yang baru dipasang minggu lalu.
"Mana sini kuncinya!" bentak Papi.
Langsung gue kasih tuh kunci mobil. Gue banting pintu depan dan belakang. Pergi bersama Uber.
Padahal sudah terbayang-bayang Sapo Tahu A Hwuat. Tapi daripada gue harus lihat muka bengis Papi, mending gue kelaparan malam ini.
Ternyata gak cuma kelaparan. Gelisah juga.
Gimana kalau Papi kepikiran? Terus nanti jantungnya kenapa-napa?
Tapi kan gue benar. Emang Papi suka ngebentak orang sembarangan. Ya biar dia tahu rasa.
Tapi kan...
Dan banyak tapi lainnya yang gue harus bungkam. Masih dengan bersungut-sungut dan sebal di hati, gue mengetik SMS berusaha tak berpikir.
"Sori ya Pi tadi Atid marah-marah."
"Iya manis. Biasa itu dinamika. Tks. Gbu."
Lega.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar