"Uang gak kenal ideologi," katanya.
Selama uang gak mengatur kita mau bikin apa, ambil aja tuh duit. Gak usah peduli dapat dari mana. Apalagi di dunia film yang butuh duit banyak tapi resiko gak balik besar. Hanya uang-uang mencurigakan yang berani berputar.
Dia mau bikin film tentang si bapak yang membuat TV di Indonesia tapi dihilangkan dari sejarah karena menolak menyensor satu film. Pasti besar biayanya. Dulu sih dia bikin film pake uang yayasan produsen mobil Amerika yang menurutnya gak ada hubungannya sama duit perusahaan si mobil.
Teman lain ingin membuat film tentang anjing-anjing, baik yang ke luar angkasa maupun yang di luar lapo. Tadinya uangnya mau dari menantunya pengusaha penasihat salah satu pemimpin republik. Sekarang belum tahu uangnya dari mana.
Teman lain sementara ini gak bikin film sendiri, aktif berkarya membuat film pesanan yang dia susupi isu dan memulai media baru berisi hipster kreatif Jakarta yang sepertinya beda geng dengan spesies kreatif langganan produser India. Uangnya dari yayasan yang perusahaannya ikutan ngebakar hutan.
Film gue pun ternyata pernah didanai duit senjata.
Salah sendiri memilih berkarya di ladang yang semahal ini. Mungkin gue akan lebih bangga dan merdeka kalau menjadi penulis saja, murah meriah walaupun gak ada lagi yang membaca.
"Why are you yelling to me about corporate greed? You are all rich," kata Tina Fey menanggapi Hollywood Bullshit di panggung Oscar.
Selama bikin film masih mahal, I will always be part of a bullshit.
Pilihannya adalah tidak membuat film atau membuat film yang tidak menghakimi. Sadar diri gue juga mahkluk bercela.
Gue selalu suka film-film mahkluk bercela.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar