Selasa, 15 Maret 2016

Bagi-Bagi Warisan

Kuping kanan gue tertutup jok sofa hitam, tempat gue teronggok ketiduran. Kuping kiri gue terangkat sedikit ke udara, sayup-sayup mendengar Papi teteleponan dengan adiknya sambil tertawa-tawa.

Bukannya nomor mereka sudah Papi hapus?

"Papi pikir-pikir ngapain jugalah marah gengsi-gengsi. Mending terima aja uang pembagiannya. Kan lumayan bisa bagi-bagi ama anak cucu."

Rumah Opung yang tadinya Papi kira buat Papi akan dijual dan dibagi ke sembilan anaknya. Mungkin Papi akan dapat satu em-an. Mungkin gue akan dapat seratus juta tanpa bekerja.

Ini pertama kalinya gue akan menyaksikan langsung yang disebut 'The Capital In The 21st Century' sebagai the distribution of wealth karena efek demographic growth. Makanya kerajaan-kerajaan kaya jaman dulu tidak lagi sekaya dulu karena hartanya terus dibagi ke keturunannya yang terus bertambah.

Opung bukan keturunan raja kaya. Dia termasuk generasi yang menuai kekayaan dari hasil kerja di masa-masa di Indonesia orang masih bisa kaya karena kerja.

Masa itu sudah berlalu.

Bagaimana dengan mereka yang orang tuanya bukan raja dan tidak sempat beli rumah dan tanah zaman dulu? Masih bisakah mereka kaya?

Tidak.

Teringat petuah senior-senior Rotary sebelum gue pertukaran pelajar ke Amerika.

"Ntar di sana kalian jangan ada yang sok ya. Semua dunia tahu orang Indo tuh kalau kaya pasti kroni Suharto one way or another. Jadi gak usah belagu."

Semua dunia kecuali kita.

"Tapi sekarang bisa kok kaya," kata Ucu mengembalikan gue ke tanah harapan. Internet telah membuka kesempatan bagi para kaum tak berduit untuk mengakses pengetahuan dan menciptakan inovasi. Seperti si anak Jember penemu 4G LTE yang sekarang makmur di Amerika. Dan ada lagi anak mana yang nemuin sinar apalah itu.

Mungkin ini yang disebut "The Capital" sebagai diffusion of knowledge, satu-satunya cara untuk meratakan kekayaan dunia.

Ayo berkarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar