Rabu, 02 Juli 2014

TV, Bir, dan Vespa

“Televisi sekarang tipis-tipis ya. Padahal dulu harus pake tabung panjang besar-besar,” seru Papi mengenang TV-TV yang dulu disetor padanya oleh para penyelundup di perbatasan Indonesia - Singapura. 

Saat itu Papi masih berpangkat kapten, belum beristri, dan menjadi penguasa perairan berstatus Danramil.  Saat itu Batam belum ada apa-apa, Orde Baru sedang memacani Asia, guru-guru Indonesia masih dibayar mahal di Malaysia, dan Singapura lebih murah dari Indonesia. Semua barang mulai dari pakaian elektronik sampai bir diselundupkan dari Singapura ke Indonesia.

Sekarang arus berbalik. 

Toke-toke Batam menyelundupkan segala rupa benda ke Singapura. Semua ada, kecuali guru-guru kita yang tak laku lagi diekspor ke Malaysia. 

Tinggallah orang tua Indonesia membanggakan anaknya yang kuliah di NUS Nan Yang Penang La Salle. Lulus, ditawari warga negara dan diharapkan jangan pernah pulang ke Indonesia, kecuali ditawari posisi menteri. 

Biarlah Indonesia dihuni para mahasiswa pas-pasan yang bangga dengan TV flat terbaru buatan Korea.

“Papi mau beli TV gini?”

Papi tidak menjawab, kembali bercerita tentang para nahkoda kapal yang selalu setor satu krat bir dan susu setiap mereka lewat. Kamar Papi akhirnya dipenuhi bir yang tidak bisa dihabiskan Opung tiap sore. Setelah kamar Papi dihuni Mami, bir berkerat-kerat itu ditukar Vespa. 

“Trus sekarang vespanya di mana?”

“Dijual karena waktu itu musim abu galunggung, padahal Deden baru lahir.” 


Easy come, easy goes. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar