Akhirnya, Bandung.
Mandi air Bandung berbeda, gak meninggalkan licin-licin di kulit seperti air Kalibata yang tercemar sungai sebelah atau kuburan sebelah. Sedikit hilang kelelahan setelah berbulan-bulan di Jakarta, kembali ke rumah, kalah.
Film Jakarta tentang Jakarta yang tayang di ulang tahun Jakarta ternyata gak ditonton orang Jakarta.
Mungkin Lucky benar. Industri film sudah mati, kita aja gak mau ngaku. Tapi melihat antrian Transformer jam 2 siang sudah habis sampai show terakhir padahal dapat jatah 3 dari 4 layar yang ada, gue seharusnya mengakui. Orang masih nonton film, tapi bukan film kita.
Kalau gue jadi pihak 21 sih gue juga taro tuh bioskop semua Transformer. Persetan ada undang-undang yang mengharuskan film Indonesia harus mendapat jatah 60% layar. Masih banyak cara lain membangun kepribadian bangsa. Jangan di bioskop gua.
Karenanya gue tidak marah. Gue kembali ke Bandung dengan lelah, walau tak rela mengaku kalah.
Teringat sebuah lagu yang gue ciptakan pada saat sebelum gue resign dari arsitek. Lebih seperti janji, bukan prophecy. I will have no glory, but somehow it’s enough.
But You never said no money juga lehhh.
Di saat Fatwa operasi dan butuh 14 juta dan dia tahu diri gak minta ke gua, seharusnya gue bersyukur. Walalupun miskin, teman-teman gue setia.
“Kita bikin FTV ajalah,” kata Indri sambil mengabari uang kepompong tinggal 9 juta.
Gue menunda berpikir, lebih memilih nonton House Of Cards season 2. Dilanjutkan Orange Is The New Black season 2. Dilanjutkan Games Of Thrones season 3. Dan Scandal. Dan Homeland. Dan Breaking Bad.
Di antara semua dan ini, masih perlu gue buat film?
Untuk menyenangkan diri sendiri? Masturbasi?
Ama guling lebih murah.
Kalau gue pintar, sebaiknya gak bikin film lagi.
Untungnya gue gak pintar-pintar amat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar