Jumat, 05 April 2013

Peta Di Awan

Pagi ini gue memandang awan. Putih tanpa biru, dengan gradasi kelabu. Hujan deras membuat Bandung Utara terasa dingin-dingin romantis , Bandung Selatan banjir-banjir tragis.

Seratus lima puluh tahun yang lalu, menantu seorang pedagang budak juga pernah memandang langit. Dia merasa waktunya sudah dekat, istrinya masih di seberang lautan. Satu-satunya yang bisa mengobati kerinduannya adalah langit, langit yang sama  yang akan dilihat istirnya. Untungnya dia pernah menolong seorang budak yang menyelundup ke kapal ini, sehingga si budak berbalik menolongnya. Sesampainya di daratan, hidupnya berubah. Dia mempelopori persamaan hak kulit hitam dan menuliskannnya dalam sebuah jurnal.

Selang setengah abad, kata-katanya dibaca seorang komponis muda yang kemudian menulis sebuah musik yang diberi judul Peta Atlas. Dia mati bunuh diri sebelum sempat mempublikasikan musiknya, sebelum Love of his life sempat melepas rindu.

Tapi musik ini  sampai ke telinga seorang jurnalis San Fransisco di tahun 1975. Musik ini tidak terkenal, tapi Rey merasa yakin dia mengenal musik ini. Tanda lahirnya pun sama dengan si komponis, kata kekasih si komponis yang 'kebetulan' terperangkap bersama Rey di dalam lift. Pertemuan kebetulan ini membawa Rey kepada penyelidikan  kolusi di perusahaan nuklir yang ternyata didanai duit minyak yang kemudian dituliskan Rey dalam sebuah novel.

Di London masa kini, novel ini dibaca seorang penerbit pengecut yang akhirnya berani membebaskan teman-teman jomponya dari Penjara Jompo. Pengalaman kabur ini  akhirnya menjadi sebuah film.

Filmnya ditonton di Neo Seoul oleh seorang manusia kloningan yang dianggap lebih rendah dari manusia beneran. Manusia kloningan boleh didaur ulang setelah 12 tahun hidup dan  dijadikan sebagai sumber protein murah yang dikonsumsi sesamanya. Sonmi akhirnya menuntut persamaan hak dan memimpin gerakan perubahan dan menyebarkan pidatonya lewat  internet.

2000 tahun kemudian, Sonmi sudah menjadi Tuhan bagi banyak orang. Pidatonya dituliskan sebagai kebenaran yang harus dihayati setiap pagi. Namanya disebut untuk meminta perlindungan dan kesembuhan.  Setelah dunia hancur, manusia pindah ke planet lain. Tapi tiap malam seorang pengikut Sonmi selalu menceritakan Bumi kepada anak cucunya. Semuanya mengelilingi dia di bawah ribuan bintang, persis seperti imajinasi gue tentang Abraham.

Cerita turun temurun, lewat jurnal, musik, novel, film, youtube, dan oral. The storyteller keeps generations in touch with each other. Lintas waktu. Lintas tempat. Lintas kulit. Lintas planet.

Cerita yang sama terus berulang. Manusia terus saja mengulangi kesalahan yang sama. Menganggap orang lain lebih rendah daripada dirinya.  Ada suatu masa kulit hitam dianggap halal dibunuh. Ada satu masa homo dianggap halal dibunuh. Ada satu massa ketika manusia miskin halal dibunuh, demi kepentingan para milioner pemilik saham minyak. Ada satu masa, manusia tua halal dibunuh, pelan-pelan lewat Panti Jompo yang dibayar mahal oleh anak-anak mereka. Ada satu masa, manusia kloningan halal dibunuh. Dan ada satu massa, manusia lemah halal dibunuh. Yang kuat yang berhak hidup.

Tapi ada satu yang tetap membuat mereka bertahan hidup, dan tak keberatan berjuang walau tahu akhirnya akan dihukum mati di kursi listrik. Kebenaran harus diceritakan.

"What if nobody believes your story?" kata si pemeriksa kepada Sonmi sebelum dia dieksekusi.

"Somebody already has." jawab Sonmi sambil memandang mata penyidiknya.

Dan penyidik hanya terdiam. Tapi tidak selamanya dia diam. Karena 2000 tahun kemudian cerita Sonmi terus diceritakan, padahal gerombolan Sonmi sudah habis dieksekusi.

Manusia datang dan pergi. The truth is always passed on.

I wanna tell you a story.

1 komentar: