Sabtu, 13 April 2013

The World After Twitter

Awalnya bermotif narsis, pengen liat foto gue untuk pertama kalinya masuk majalah nasional 2 halaman penuh, gue keluar duit 33.000.  Duit yang terlalu besar buat membeli berita bagi generasi  biasa gratisan kaya gue.

Ternyata ada berita soal tiga kakak beradik lintas partai yang suka memancing ikan besar di tengah sungai miskin bernama Indonesia. Minggu itu majalah mereka digugat si adik. Karenanya minggu depannya gue beli lagi, walaupun muka gue gak lagi muncul. Lumayanlah nambahin 33 ribu buat mereka melawan.

Minggu depannya gue beli lagi. Gak lagi berpikiran berderma, karena sepertinya mereka gak butuh 33 ribu gue. Tapi nagih baca cerita mereka. Cerita tentang bawang merah, bawang putih, sapi, bapak-bapak billboard, dan curhat si Komo.

Dulu gue males baca majalah. Untuk apa? Cuma memperkaya bapak-bapak kaya yang mau meingisi otak gue dengan kebenaran versi mereka. Lebih seru baca informasi gratisan dari Facebook, Twitter, Wikileaks, hasil kreasi para  milioner muda, bersepatu kets, dan  bergadget.

Lama-lama informasi semakin banyak. Semakin sulit mengikuti semuanya. Semakin gue cuma baca yang bersangkutan dengan gue saja.

It's all about me.

Penjualan majalah dan koran semakin menurun. Iklan semakin menurun, lebih memilih masang di Google atau blog personal yang lebih murah tapi tepat target market. The New York Times harus mencari cara agar mereka bisa bertahan, membuat majalah versi online yang tetap berbayar.

Siapa yang mau bayar ketika kita bisa dapet berita gratisan?

Ternyata banyak bo. Dan mereka sekarang jadi situs berita terbesar di dunia.

Lo bisa dapet berita gratisan emang. Banyak banget tinggal click. Terlalu banyak malah. Ketika lo berlangganan majalah online, lo kaya membayar kurator berita. Lo gak usah susah-susah search, lo langsung disajikan berita-berita yang lebih menarik, lebih terpercaya, dan lebih mendalam.

Kedalaman, something 140 characters can't deliver.

Kalau perusahaan segendut The New York Times bisa survive jualan berita di tengah-tengah banjir berita, kenapa gue gak bisa jualan film di tengah-tengah banjir film? Gue kan gak segendut mereka, jadi harusnya bisa bergerak lebih lincah.

OK. Penonton film kita adalah remaja yang hiburannya tidak lagi menonton. Ngapain bayar 25 ribu kalau lo bisa nonton Youtube gratisan? Ngapain macet-macet ke Grand Indo kalau lo bisa nonton di rumah? Ngebalesin mention di twitter aja udah abis waktu, gak perlulah nonton  ke bioskop.

Ngapain juga gue ke Bioskop? Pendapatan gue cuma 30% dari penjualan gara-gara bagi-bagi ama pajak dan yang punya bioskop. TV juga cuma mau nayangin materi-materi aman yang halal dikonsumsi pasar C dan D.

Mending gue bikin film langsung untuk penonton. Penonton yang biasa download film, gak betah berlama-lama, dan cuma mau keluar duit buat sesuatu yang nambah gengsi: outfit dan segelas kopi di kafe asik.

Nothing I can do to change them. Gue yang harus berubah. Film seperti apa yang mereka mau nonton, dan gue masih mau bikin?

Gak harus film kok. Cerita. Cerita seperti apa yang mereka mau nonton dan gue mau bikin?

Pendek. Penting. Penasaran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar