Selasa, 17 Mei 2011

Maka Tak Sayang

Selamat datang di gerbang marhamah.

"A, ari gereja Palalangon teh palih mana?" tanya Beruang Ciwidey. Jangan sampai Mak Gondut lagi yang nanya jalan. Suaranya terlalu tinggi untuk ukuran Sunda-Sunda Cianjur.

"Teras ka lebet, mentok, ka kiri."

Hari ini program komunikasi intens Mak Gondut, DoP, dan astrada diisi dengan jalan-jalan ke Raja Mandala. Mak Gondut diundang maen wayang ke anak-anak kecil di perbatasan Cianjur.

Di antara sawah, danau, dan mesjid, gereja itu berdiri.

Tak hanya satu. Dua.

"Pasti susah pisan bikin gereja di sini," kata si Beruang Ciwidey mengigat gereja di kampungnya hanya diisi Batak dan Cina. Sekarang sudah tinggal Batak, karena muallaf lebih menguntungkan secara bisinis.

DoP di dalam memvideokan Mak Gondut eksis bermain wayang. Gue dan Astrada Beruang duduk-duduk menikmati alam.

"Dulu gue memandang sebelah mata ama orang Batak," kata Beruang Ciwidey. Lahir dan besar di Ciwidey, satu-satunya Batak yang dikenal Beruang adalah seorang ibu-ibu penjual warung yang suka teriak-teriak dan makan anjing.

Dulu, kalau menyuruh orang ke warung, Beruang berkata, "Eta meuli ka si Batak."

Setelah jadi astrada cin(T)a : "Itu beli ke si Tante."

Sepanjang jalan pulang, Mak Gondut bercerita tentang betapa pentingnya madu bagi anak si Beruang yang masih satu tahun, betapa Israel-Palestina bukan tentang suku atau agama, betapa banyaknya suku Beduin Muslim yang tinggal di kaki Gunung Tabor, betapa lucunya tour guide-nya di Israel yang ternyata Muslim Palestina, dan betapa baiknya Tuhan yang selalu menolong hamba-Nya yang berusaha.

"Mak lo seru juga ah diajak ngobrol," kata Beruang Ciwidey.

Ya kalau dua jam. Dua bulan ok lah.

Coba 28 tahun.

Tak sabar menanti Demi Ucok dengan cast Batak dan crew Sunda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar