Minggu, 15 Mei 2011

Death

Ayah seorang teman meninggal.

"Umur berapa?" tanya papi.

"Di atas 70an," jawab gue bohong. Takut papi tambah sensi.

Papi kembali menyimak pendeta. Lima menit kemudian, sudah tertidur. Gue nggak membangunkan, cuma ngeliatin muka Papi yang semakin tua.

Di Demi Ucok, karakter bapak diceritakan sudah mati.

Tapi fotonya tetap terpajang di ruang tengah.

Foto Papi menggendong Manohara. Papi tersenyum manis, beda banget dengan Papi sehari-hari.

"Gue gak rela banget kalau papi lo bikin mati. Dibikin dines ke mana kek! Lagi ngunjungin anak ke amerika kek!" kata Mama Singa protes, seakan-akan ini memang cerita Papi. Cerita Mami. Cerita gue.

Ini kan bukan tentang papi. Bukan tentang mami. Dan bukan tentang gue.

Kalau bapaknya masih hidup, Gloria dan mamanya gak akan pernah kesulitan uang. Pasti bapaknya melakukan apa pun demi keluarganya. Nah lho! Trus dramanya di mana?

We need drama. Namanya juga film.

"Aku juga gak rela!" sambung Sijarajiri. "Masa si Manohara yang maen? Si Kubuslahhh!!!"

Tapi gak jadi karena status kepemilikan Kubus belum jelas. Kubus anjing orang yang gak rela kita kembalikan. Masa anjing seganteng Kubus dikurung di atas genteng ?

Dang maradat!

Belum mulai, sudah banyak intervensi cerita. Inilah akibatnya kalau membuat cerita tentang keluarga.

Emang kenapa sih kalau papi dibuat mati?

Kenapa kematian begitu menakutkan? Sooner or later everyone does.

Banyak berkat yang didatangkan kematian. Dia dikelilingi berbagai teman yang rela membatalkan kerjaan demi nemenin dia. Saudara dari berbagai pelosok Indonesia pun berdatangan memenuhi karpet-karpet yang menghampari ruang tengah. Keluarga saudaranya yang tinggal terpisah di Makasar dan Batam jadi ada kesempatan bertemu.

Kematian yang mempersatukan.

"Kalau sekarang sih belum kerasa, coba ntar kalau orang2 udah pada pergi," kata seorang teman mengenang kematian ibunya sendiri beberapa waktu lalu.

Datang sendiri, pergi sendiri.

Walau Papi sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar