Kelurahan:
Surat domisili harus minta izin tetangga dulu. Sama RT RW.
RT :
Oh, RT-nya gak ada. Pulangnya masih lama. Coba aja abis maghrib.
RW:
Ngurus domisili mah di saya, bukan di kelurahan! Nanti kau ngurus ke kelurahan, lurah dapat duit. Aku gak dapat.
Nanti malam abis tanda tangan RT, kau datang ke sini bawa duit 750 ribu. Kau isi formulir, tulis tangan aja. Formulirnya gratis! Gak usah bayar.
Kau kasih aku 750 ribu, bukan untuk aku. 400 untuk lurah, 350 ke camat.
Kalau gak ada duit, ya gak bisa dikerjain. Ini banyak yang ngantri belum saya kerjain (memperlihatkan setumpuk akta)
Ya gak ada duitnya.
Kakak gue:
Saya juga pasti ngasih, menghargai kerja bapak. Tapi bapak gak boleh matok harga kaya gitu. Kok beraninya meras rakyat sendiri?
Ini bukan masalah uang, ini masalah moral!
Lurah:
Sebaiknya diselesaikan dengan Bapak RW. Pihak Kelurahan tidak bisa menandatangani apa pun kalau tidak sepengetahuan Pak Tino.
Kakak gue:
Jadi sebagai lurah bapak tidak punya wewenang apa pun untuk menertibkan bawahan Bapak?
Saya lebih baik pindah domisili.
Bokap gue:
Kalian jangan anggar jagolah. Apa salahnya bayar aja 750 ribu, beres. Di Indonesia ini gak ada pegawai yang cukup makan. Duit kan bisa kita cari lagi. Sekarang gak dikerjain PT kalian, mau apa?
Gue:
Kalau jadi ya jadi. Kalau nggak ya nggak. Film kalau udah minta dibuat, pasti jadi.
(Tentunya dalam hati.)
Salah kita juga, mengapa membiarkan posisi-posisi pening seperti ketua RW dipegang oleh pengangguran mata duitan, sisa-sisa masyarakat yang terlalu sibuk untuk ngurusin tetangga.
(Tentunya dalam hati.)
Dan diam-diam gue merevisi script, memasukkan adegan ini ke dalam 'Demi Ucok'.
Gue:
Kalau jadi ya jadi. Kalau nggak ya nggak. Film kalau udah minta dibuat, pasti jadi.
(out loud)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar