Jumat, 13 Agustus 2010

Impian Kepompong Gendut

Seorang sutradara tenar datang. Panitia, wartawan, dan pandangan orang terpusat di titiknya. Dia melangkah anggun dengan busana titisan kupu-kupu. Bagian belakang yang didesain pamer pungggung sekarang ditutupi tank top. Dalam rangka menyambut bulan suci ramadhan dan penyamaran jerawat punggung.

Dua sutradara wannabe mengamati, berhenti sejenak menikmati hidangan gratisan yang disponsori Embassy Of Canada dalam rangka promosi film anak bangsanya.

"Apakah kesenian selalu dekat dengan kemewahan?" tanya si wannabe 1.

"Kalau lo liatnya dia sih iya. Kalau liat gue sih...," kata wannabe 2 sambil berusaha terlihat kupu-kupu.

Sutradara zaman sekarang harus semakin kupu-kupu. Harus semakin tinggi. Harus lebih tinggi dari artisnya. Twitter. Facebook. Segala media diepergunakan untuk mencapai massa. Karya tidak lagi yang utama. Film tak lagi butuh jiwa. Ayo kita filmkan kemiskinan, dan filmkan dalam kemewahan. Bisakah dia masih berjiwa?

"Maaf mbak, boleh wawancara?"

Wannabe 2 geer. Ternyata usahanya terlihat kupu-kupu tak sia-sia.

"Pengeluaran mbak sebulan berapa ya?"

Ternyata survey pasar.

Dia hanya sebongkah kepompong gendut.

Wannabe 2 berpikir keras. Kalau jujur, dia beresiko tidak terlihat kupu-kupu. Kalau berdusta, dia terancam merusak jiwa: modal utama sutradara.

"Tergantung punya pacar atau nggak," jawab Wannabe 2, senantiasa menggunakan jurus humor untuk menghindari kejujuran.

"Kalau punya pacar, lebih gede atau kecil?"
"Tergantung pacarnya siapa."
"Jadi pengeluaran mbak rata-rata berapa?"

Akhirnya kolom 2-4 juta dicontreng dengan sedikit malu-malu.

Kepompong gendut, mengapa harus malu?


Sepertinya lebih menyenangkan menjadi sutradara muda kaya raya. Makanya blog gue isinya tentang cari jodoh melulu. Lebih gampang mengakui lo butuh pacar daripada lo butuh uang.

Kadang-kadang mengejar mimpi itu butuh uang, apalagi di negara yang boro-boro mikirin bayarin makan malam serombongan anak tetangga untuk nonton karya anak bangsanya. Hadiah piala saja tak kunjung dibayar.

Kadang-kadang berjuang itu mahal, apalagi saat gadget dan bensin tak lagi kebutuhan sekunder.

Kadang-kadang firman Tuhan itu membosankan, apalagi di saat gue merasa kekurangan.

Firman gue membosankan? Atau elo yang membosankan?


Kepompong gendut merengut.

You are what you think.

Dia mulai berusaha merasa kelebihan, selain berat badan tentunya.

Tapi pikiran tak bisa ditipu. Dia cuma merasa kelebihan ketika tubuh siap membagi-bagikan.

Langkah pertama agar tidak kekurangan: give more. Siapa yang bisa gue beri?

Don't look too far. I put him right beside you.


Wannabe 1 butuh 60 juta untuk filmnya.

Wek. Wannabe 2 gak punya uang.

Tapi 60 juta gampang dicari. Tinggal bikin business plan.

Wannabe 1 gak tahu cara bikin business plan. Dia hanya tahu skenario, shot list, dan camera movement. Cash flow, revenue projection, dan investment risk sangat asing baginya.

Business plan itu intinya lo butuh duit berapa dan gimana cara balikinnya? No need for fancy words.

Kalau lo gak kebayang bisa balikin dalam bentuk uang, lo bisa janjikan bentuk lain. Misalnya lo janjikan film ini akan masuk 4 festival. Pasti banyak yang mau membayar 60 juta demi namanya masuk 4 festival. Atau lo janjikan pacar gelapnya jadi bintang utama. Gak harus berbentuk uang.

Ternyata semuanya sudah dia lakukan, hanya belum dituliskan. Wannabe 1 gak butuh business plan. Gak butuh uang. Dia cuma butuh didengarkan.

Kuping. Kalau kuping sih gue punya. Dua.

Wannabe 1 berterimakasih.

Wannabe 2 malu. Harusnya dia yang terima kasih. Sekarang wannabe 2 merasa lebih berarti.

Ayo bikin film. Semakin banyak yang bikin film, bioskop semakin untung. Bioskop semakin untung, layar semakin banyak. Layar semakin banyak, filmmaker makin kaya. Wannabe 2 makin kaya.

Kepompong gendut kembali menggeliat, tak sabar menanti menjelma jadi kupu-kupu kaya raya.

Oh wait.

She already is=D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar