Kamis, 26 Agustus 2010

Crawled

Hari ini gue gak pengen menulis.
(Arti: Hari ini gue pengen menulis tapi takut menyakiti, lebih takut lagi disakiti)

Tapi akhirnya gue tulis juga karena kalau tidak dituliskan gue akan gundah gelisah dan beresiko gila. Diawali di sebuah obrolan siang-siang ditemani pancake dan nasi bakar. Seekor perawan gendut yang berharap selalu happy dalam hidup diusik.

"Setelah melakukan pertama kali, gue marah," katanya ketika menceritakan pengalaman ML pertama. Dilakukan saat dia 24, dengan lelaki yang dia cinta. Malah si pacar yang ngotot kalau mereka gak boleh ML sebelum menikah, berkebalikan dengan trend cerita film di jamannya saat Roy Marten masih bebas kumis.

"Nanti kalau kamu nggak jadi sama aku, kamu gak ada lagi yang mau," kata pacarnya khawatir.

"Kalau dia gak mau sama aku karena aku gak perawan, percaya deh. Aku pasti gak mau duluan sama dia," katanya sombong. Cantik. Terpelajar. And know what she wants. She wants to get laid.

Setelah 7 hari berdebat, mereka akhirnya bercinta. Setelah bercinta, dia marah.

"Karena sakit?" tanya gue.
"Karena terlalu indah," katanya menceritakan detik-detik ajaib antara ada dan tiada yang membawa ketenangan dan ketiadaan luar biasa. Bagaimana mungkin momen seindah ini dilarang oleh agama?

"Bukan dilarang. Hanya nggak boleh sebelum menikah aja," kata gue berusaha membela agama.

"Kenapa nggak boleh? Kan kurang ajar itu agama. Kok yang seindah itu dilarang-larang," katanya.

"Karena dosa?"

"Apa itu dosa?" tanyanya.

Perawan gendut gak menjawab, memilih mengunyah pancake peanut butter yang dilumuri saus karamel: the most sinful thing in the world for her. Ini baru dosa.

"Gue sudah berjanji pada diri gue untuk tidak melakukan norma apa pun yang diajarkan kepada gue karena takut dosa dan tanpa mempertimbangkan hati nurani gua," katanya.

Kegelisahannya akan agama dimulai pada saat dia mulai menstruasi dan dilarang sholat.

"Orang menstruasi itu labil dan butuh bimbingan. Justru pada saat menstruasilah seharusnya orang semakin banyak bercakap-cakap dengan tuhannya. Ini kok malah dilarang?"

Untungnya dia dilahirkan di kalangan orang tua yang terpelajar, ningrat, moderat dan tidak langsung mengadili kegelisahan anaknya dengan doktrin-doktrin neraka atau menghambat pertanyaan anaknya dengan jawaban yang mematikan kreativitas.

Dia dibiarkan berkelana, mencari sendiri, sambil tetap disayangi.

Dia tumbuh menjadi wanita mandiri yang memilih tidak menikah, penyayang, mencintai, dicintai, dan menikmati kehidupan seks yang istimewa.

At least, that's what's outside.

"Feminis!" komentar salah seorang lelaki yang hobi menggoda mbak-mbak Indomaret, memberi label padanya.

Dia juga menyebut diri feminis. Tapi dengan arti yang berbeda.

Feminis bagi si penggoda mbak-mbak Indomaret adalah ibu-ibu gendut 50 tahunan atau calon ibu-ibu gendut 50 tahunan yang single karena gak laku-laku. Feminis bagi dia adalah seorang wanita yang memilih berjuang demi harkat dan martabat wanita. Feminis bebas menganggap pernikahan sebagai pilihan, bukan keharusan.

"Wee.. Utdah sahlah jalan itu!!!" kata seorang kakek dalam bahasa Indonesia patah-patah mengomentari ide tidak menikah.

Gue hanya tertawa, walaupun tak sepaham. I don't fight unnecessary battle.

"Umur kukong berapa? tebak," kata si Kakek.
"62 ya?" kata gue pura-pura hanya untuk menyenangkannya. Apa lagi yang bisa kita lakukan pada kakek-kakek selain mendengarkan dan menyenangkannya?

Disambung dengan cerita berjam-jam tentang bagaimana susahnya merantau dari dusun Sumatera ke daratan Cina di tahun 52 yang ekonominya tidak lebih baik. Baru setelah 32 tahun kemudian Kukong bisa pulang ke Indonesia. Sekarang dia bolak balik Hongkong-Indonesia untuk berbisnis, meninggalkan anak dan istrinya di Kowloon. Full drama, minus tanda baca. Bahasa Indonesianya udah kecampur Cina.

Kukong cuma menolak bercerita ketika ditanya tentang kisah cintanya bersama si istri.

"Saya nggak suka cerita kisah cinta," katanya.

Matanya menyipit, menyembunyikan bola mata. Tapi sayang kepahitan itu terlanjur terbaca, tak mampu tersembunyikan kelopak matanya.

I am not taking any relationship advice from a person who never experienced love, too bitter to tell it after seventy something years of his life.

Orang memang berbeda-beda dan gue harus memilih apa yang paling gua.

"Di mana pun lo memilih berada, pasti selalu ada oposisi. Just stick to where you believe best," kata si feminis sambil menceritakan kisah cintanya yang tidak pernah diikat institusi.

Gue gak ingin menjadi dia.

Gue gak ingin menjadi si kakek.

Gue gak ingin jadi kaya orang tua gua.

Hari ini gue ingin menjadi diri sendiri.

Hari ini gue gak pengen menulis.
(Arti: Hari ini gue pengen menulis tapi takut menyakiti, lebih takut lagi disakiti)

Karenanya dalam rangka menjadi diri sendiri, gue tetap menulis.

I have a feeling, a sad but exciting one, kalau Jakarta dan sekitarnya tidak lagi bisa memuaskan gua. I don't wanna spend my lifetime with you, Babe.

Ya elahhhhh ribet amat sih gua? Pacar aja gak punya.

Dan email undangan dari festival Hawaii pun sampai.

Aloha!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar